Just For a Day

42 9 1
                                    

Jian duduk di angkringan samping sebuah rumah yang amat familiar baginya. Ia menunggu seseorang. Sekarang masih pukul delapan malam, tetapi komplek perumahan yang kebanyakan diisi oleh kos-kosan dan kontrakan tampak sepi. Hanya sesekali kendaraan lewat.

Seseorang yang ia tunggu akhirnya datang. "Ada apa?"

"Nin, gue mau minta tolong boleh? Anggep aja gue nggak tau diri. Tapi anggep aja ini cara gue berterimakasih." Kata Jian pada Nindy. Iya ia menunggu Nindy di depan kosnya.

"Minta tolong apa?"

Jian tersenyum. "Temenin gue buat blow the candle. Di atas cupcake yang lo kasih ke gue."

Nindy mengernyit heran, namun perlahan-lahan ekspresi datarnya melunak. "Ini masih tanggal 4."

Mendengar itu, Jian terkekeh. "It's okay. Ini early gift juga, jadi nggak aneh buat early celebration."

"Dimana?" Tanya Nindy sambil melihat sekelilingnya.

"Di tempat pertama gue menyapa lo, mau?"

Nindy bergidik, ia ingat tempat angker itu. "Di situ angker. Jangan ah."

Jian tertawa. "Ya udah di cafe seberang gerbang komplek aja."

Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Gue ambil jaket bentar, jalan kan?"

"Lo keberatan kalo kita jalan agak jauh?" Nindy menggeleng lalu berlalu masuk ke kosannya. Jian tersenyum lebar, ia menoleh ke Mbak Leli si pemilik angkringan. "Mbak, gue abis gorengan 5 tadi. Nih kembaliannya buat Mbak aja." Ia menyodorkan selembar berwarna hijau.

"Kebanyakan, Mas Jian. Bentar tak ambilin kembalian." Sahut Mbak Leli sambil merogoh kantongnya.

Jian mengayunkan tangannya seolah menolak. "Aku lagi ulang tahun, doain ya, Mbak."

"Wah selamat ulang tahun, Mas Jian. Semoga bahagia selalu sama Mbak Nindy. Rejekinya sama kuliahnya lancar terus ya, Mas." Mbak Leli jadi heboh begitu Jian mengatakannya.

Jian tersenyum, hatinya menghangat. Meskipun Mbak Leli bukan siapa-siapanya, ia merasa sangat dihargai. "Amin amin. Makasih, Mbak."

"Mbak cuma punya jajanan gini, Mas, nggak bisa kasih hadiah apa-apa."

Jian menggeleng lagi. "Doanya Mbak udah jadi hadiah buat aku kok, Mbak. Eh Nindy udah dateng. Aku pergi dulu, Mbak."

"Hati-hati, Mas Jian, Mbak Nindy." Nindy membalas sapaan itu dengan senyum ramah dan anggukan.

Mereka berdua berjalan bersisian. Tak ada obrolan selama perjalanan. Rasanya sudah lama mereka tidak sedekat ini. Sejak pertemuan mereka waktu itu pun liburan semesteran membuat mereka rasanya lama sekali tak berjumpa satu sama lain.

"Gue denger bokap lo sakit. Sorry ya gue pasti nambahin beban lo." Jian memecahkan lamunan Nindy.

Nindy diam sejenak lalu menoleh agak mendongak. "No need to, beliau baik-baik aja. Gue pun baik-baik aja. Jadi nggak ada masalah." Entah Jian sadari atau tidak, Nindy gugup. Ia tahu perasaannya pada pemuda ini tak bisa terhapuskan begitu saja. Namun ia menyadari bahwa situasi mereka kini berbeda.

Mereka tiba di gerbang komplek. Ketika hendak menyebrang, Jian menyentuh siku kiri Nindy, gerakannya itu seolah merangkul pinggang gadis itu. Jian melepaskannya sambil salah tingkah. Nindy mengalihkan wajahnya menutupi rona merah di pipinya. "Sorry." Ujar Jian pelan.

Nindy menggeleng. "It's okay."

Tiba di pintu cafe, Jian berjalan lebih dahulu dan menahan pintu cafe untuk Nindy. Jian menutupi kegugupannya setelah melakukan itu. "Mau di luar atau di dalem?"

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang