Mobil Rean berhenti di dekat kos Nindy. Sejak setelah obrolan singkat di tempat Tante Nia hingga perjalanan kembali ke kos Nindy, gadis itu diam. Untuk memulai pembicaraan saja, Rean merasa sedikit bingung. Takut ada yang membebani gadis itu.
"Nin, can we talk?" Akhirnya Rean berhasil meloloskan kata-kata yang tertahan sejak tadi.
Nindy mengangguk, tanpa kata ia membuka pintu mobil Rean dan membukakan pagar agar pemuda itu bisa memarkirkan mobilnya di dalam. Rean menurut saja dan mengikuti langkah gadis itu menuju kamarnya, tentu saja dengan membiarkan pintunya terbuka lebar.
Rean duduk di kamar gadis itu yang masih sama dari terakhir ia ke sini. Nindy sedang ke dapur katanya untuk mengambilkan Rean minum.
"Kak Rey mau kopi atau teh?" Nindy masuk ke kamarnya dengan dua minuman di tangan kanan dan kirinya.
"Teh aja, thanks." Katanya setelah menerima minuman kemasan dari gadis itu.
Nindy duduk di depan Rean. Mereka duduk di lantai. "Kak Rean nanyain soal perkataan gue tadi?"
Rean menggeleng. "No, gue sepenuhnya ngerti soal itu. Gue cuma pengen ngobrol sama lo soal apa yang lo liat tadi." Ketika melihat Nindy menunggunya melanjutkan, Rean menghela nafasnya sebelum bercerita. "Itu berat, Nin. Gue serius saat gue bilang gue ngelepasin lo waktu itu karena takut sama kondisi gue sendiri. Yang lo liat tadi itu gue udah jauh lebih baik. Sejak gue menghilang waktu itu, gue ke Tante Nia seminggu dua kali, atau seminggu sekali. Gue pernah sampe teriak saking nggak kuatnya, Nin. Buat jadi sekarang ini butuh proses yang panjang dan menyakitkan."
Nindy menggenggam tangan Rean, ia tahu pemuda itu butuh kekuatan untuk bercerita seperti ini. "It's okay, Kak. Tell me just what I need to know."
Rean mengeratkan genggaman tangan Nindy. "Gue bener-bener ngerasa hidup saat sama lo. Tapi gue tau gue saat gue memutuskan untuk memiliki lo, gue nggak akan pernah bisa ngelepasin lo sedikitpun. Gue udah ngerasain kehilangan Mama bahkan saat gue belum pernah ngerasain kehadiran dia. Gue kehilangan arti hidup gue sejak Papa gue nyerahin beban rasa bersalah ke gue." Rean tersenyum. "Gue cukup waras saat itu, jadi gue lepasin lo, tapi ternyata itu sulit. Sedikit aja lo baik ke gue, ternyata keinginan buat ngemilikin lo selalu ada lagi. Sekarang gue ngerti dan gue bisa terima keputusan lo, Nin. Gue tau seberapapun keras gue memaksa, ada yang udah berubah. Keadaannya dan perasaan lo."
Nindy terdiam sejenak untuk memikirkan apa yang harus ia jawab. "Maaf ya, Kak. Atas sikap labil gue sendiri pasti bikin lo salah paham. Gue nggak seharusnya mainin perasaan lo. Lo atau Jian sama-sama nggak pantes dapetin orang kayak gue. Gue rasa gue perlu menata diri gue dan perasaan gue, Kak Rey."
Rean mengelus pelan rambut gadis itu dan mengusaknya. "Nggak apa-apa, kita sama-sama ada salah. Your feelings are valid, cuma kita kadang salah arti aja. Take your time, Nin. Gue udah jauh lebih baik-baik aja, dan tujuan gue ajak lo ke Tante Nia, gue cuma pengen apa ya berbagi aja. Orang-orang yang gue percaya sebesar itu cuma lo sama Yovan. Jadi anggap aja gue kayak temen yang lagi curhat."
Nindy mengangguk paham. "Kak Rey pasti bisa pulih sepenuhnya tanpa kebayang rasa takut itu lagi. Bertahan sejauh ini itu aja nggak mudah, lo memang sekuat itu, Kak. Jadi jangan nyerah. Jangan sakiti diri lo lagi, Kak. Gue nggak bermaksud lancang, meskipun Papanya Kak Rey nggak menghendaki Kak Rey. Setidaknya lo perlu pertimbangin, Mama kakak pasti kecewa banget kalo Kak Rey nyerah dengan cara kayak gini."
Rean sedikit mendongak, ia menahan air matanya agar tidak jatuh. "Nin, ini sesi dua ya? Lo kenapa ngomongnya kayak Tante Nia deh?" Candanya.
Nindy terkekeh sambil mendorong pelan bahu Rean. "Out of topic banget deh, nggak mau nangis kan lo?" Anggukan Rean membuatnya tertawa. "Gue jadi inget Mama lo, Nin. KKN jadi di rumah?"
"Nggak, itu daerahnya masih sekitar 45 menit. Agak cukup jauh sih, mungkin weekend gue bisa pulang. Cuma kalo hari biasa, gue tergantung deh kegiatannya."
Rean menyesap teh kemasannya sambil mengecek ponselnya. "Gue denger lo sekelompok sama Jian ya? Cinlok lagi nih?"
Nindy mendengus. "Kan gue baru aja bilang ke lo kalo butuh waktu sama diri sendiri. Malah listnya muncul ada nama dia sama gue di satu kelompok. Kurang apes apa gue."
"Santai aja, Nin. Jangan terlalu kebawa perasaan aja. Kalo sibuk ngurusin kegiatan sih nggak sempet ya. Tapi kadang kan perasaan nggak bisa dikontrol ya." Rean malah menaik-turunkan alisnya seperti menggoda gadis itu. "Oh lo kelompok di daerah Kencana ya? Sekelompok sama temen gue tuh."
Nindy menautkan alisnya. "Temen lo yang siapa? Emang punya temen adek tingkat?"
Rean mengangguk. "Tetangga sih, dulu pas masih kecil temen main gue. Si Sean, tau nggak? Dia yang selalu jadi ikon di banner penerimaan mahasiswa baru yang segede gaban itu."
Mata Nindy melebar saat wajahnya mengingat nama yang disebut Rean. "Sean? Dia cakep anjir, Kak. Pantesan jadi ikon kampus."
Rean menatapnya sinis namun dengan maksud bercanda. "Cepet ya, kalo yang bening-bening tuh?"
Nindy mengangguk. "Ya siapa yang nggak seneng liat yang cakep? Gue cuma mengakui aja, lo nggak usah jealous gitu dong." Ia tertawa kegelian saat Rean hendak menggelitiki pinggangnya. "Ih udah geli."
Di depan pintu kamar Nindy, Wina muncul saat posisi mereka seperti berpelukan. "Kalo pacaran pelan-pelan ya, biar nggak digerebek warga."
Nindy memutar bola matanya. "Bawel lo." Katanya membuat Wina tertawa dan berlalu ke kamarnya. Ia tak mempermasalahkannya, tentang Nindy dan Rean. Ia tahu, Nindy tak akan bermain-main lagi. Wina tahu, Nindy hanya kesepian, jadi gadis itu butuh seseorang. Namun kadang caranya salah. Wina hanya akan menegurnya jika temannya salah. Namun mengenai pilihannya, semua itu keputusan Nindy. Ia akan mengingatkan saja, bukan memaksa Nindy untuk mengikuti keinginan dirinya sendiri, Alice maupun Jayden. Perkataan Jayden benar kala itu. Ia akan ceritakan lain kali.
Wina hendak rebahan ketika suara motor Rean pergi menjauh dan pintunya diketok seseorang. "Masuk aja, nggak gue kunci." Ketika Nindy menyembulkan kepalanya dari balik pintu, Wina bertanya. "Kenapa lo senyum-senyum?"
"Minta roti jepang, Win. Gue lupa nyetok pas udah tanggalnya."
Wina mengangguk dan menunjuk mejanya. "Ambil sendiri sana." Lalu ia melebarkan matanya. "Lo nggak bisa ngelakuin itu karena lagi haid ya?"
Perkataan Wina dihadiahi lemparan satu buah roti jepang yang disebut Nindy. "Sembarangan." Tapi lalu ia berniat membalas. "Kan nggak harus ngelakuin itu nggak sih? Yang lain kan bisa, minimal ciuman nggak sih?" Ia lalu ngibrit ke kamarnya ketika Wina menatapnya dengan tatapan bingung bercampur penasaran.
"Nindy monyet, apa maksud lo?" Baiklah rasa penasarannya lebih tinggi dibandingkan rasa ingin rebahannya sekarang. Ia mendatangi kamar Nindy dan membuka pintu kamarnya yanh tidak dikunci. "Lo beneran abis ciuman sama dia?"
Nindy menatap Wina sinis. "Bisa nggak jangan dipoint out soal itunya. Gue abis deeptalk aja."
Wina mengangguk. "Tapi sambil ciuman aja gitu?" Nindy melempar bantalnya.
"Lo ucapin kata itu lagi gue nggak akan cerita." Nindy ngambek, ia hanya memainkan ponselnya dan mengabaikan Wina.
"Yee ngambek. Iya iya sorry, jadi apa?"
Nindy menatap Wina dengan senyumnya. "Gue nyelesain satu demi satu, Win."
Wina mengangguk-anggukkan kepalanya. "Tapi kan nggak harus physical touch kali, Nin."
Nindy meringis. "Just kidding kali, Win. It's just about to. Tapi nggak, gue nggak mungkin gitu."
"Hampir? Gila lo. Bilang aja sebenernya lo pengen." Ceplosnya yang dihadiahi cubitan di lengannya. "Sakit anjir, iye iye terserah lo. Jangan lagi-lagi lo ulangin. Iya kalo anggepnya dia sama kayak lo, buat terakhir kalinya. Kalo dia anggepnya peluang kan lo sendiri yang mumet."
Nindy mengangguk patuh. "Siap salah, Kak."
"Lo emang salah, bego." Wina lagi-lagi membuat Nindy kesal. "Ya udah nggak usah nggak terima gitu. Ini modelan gini direbutin Rean sama Jian, bar-bar gini. Iya iya gue diem." Wina menyilangkan tangannya ke depan badannya karena Nindy hendak melancarkan aksinya. Menggelitikinya yang sangat tidak suka sentuhan.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck on You
Fanfiction"Lo pasti udah pernah denger ini, balikan sama mantan tuh ibarat lo baca buku yang sama. Endingnya tetep sama. Nggak ada yang berubah sama alurnya." "Tapi gue nggak akan tau kalo nggak ngebuktiin sendiri." "Dengan balikan sama mantan lo? Kenapa sih...