Nindy merasa sejak saat ia berusaha menjauhi Rean dan Jian, dunianya kembali sepi. Di saat Wina dan Alice yang aktif berorganisasi, atau Jayden yang jadi atlet basket kebanggaan kampus, ia hanya kuliah dan part time di tempat Dianne saja. Saat menunggu jam kuliahnya yang kosong di tengah, ia duduk sendiri di kantin atau di perpustakaan untuk membaca novel. Sungguh, meskipun sendiri kadang menyenangkan tetapi ada kalanya sendirian menimbulkan kebosanan.
Nindy kali ini memutuskan untuk hanya duduk di meja kantin sendirian. Semua temannya, hanya tiga memang, mereka sedang kelas. "Gue bosen anjir, ngapain ya." Gumamnya menopang dagu sambil memainkan ponselnya.
Seseorang eh tidak, dua orang lewat di depannya. Si lelaki tidak menatapnya, sedangkan si perempuan menatapnya sambil tersenyum sekilas. Jian dan Sharon. "Kak Nindy sendiri aja?"
Jian yang memesan dan Sharon yang mencari tempat. Begitu yang diamati Nindy. "Eh iya lagi nunggu kelas."
"Kita boleh gabung—" Sharon baru saja hendak meletakkan tasnya di kursi depan Nindy, namun tangan Jian mencegahnya. "Kak Jian, kenapa?"
Jian tak menjawab dan hanya mengalungkan tas Sharon di bahunya, lalu mengajak gadis itu ke kursi lain. "Ke sana aja."
Sharon yang tidak mengerti pun hendak menyapa Nindy, ia rasa meskipun ia tak suka gadis itu. Ia harus tetap pamit saat mengakhiri percakapan. "Aku tadi belum jadi ngomong ke dia loh."
Jian menatap Sharon seolah ingin gadis itu memahami maksudnya. "We can't talk with her. Gue sih."
Sharon meringis. "Ah I see, sorry. Lagian nggak ngomong. Kenapa? Tumben banget. Berantem? Kamu ditolak lagi?" Enteng sekali Sharon mengatakannya, tidak sadar kalau Jian sudah menunjukkan wajah sebal. "Iya sorry, nggak. Udah ah ayo makan." Gadis itu sambil mengamati Nindy yang kembali bertopang dagu sambil memainkan ponselnya.
Jian makan dalam diam, melihat Nindy makan sendirian, ada rasa ingin menemaninya. Namun, lagi-lagi perkataan gadis itu kemarin membuatnya tidak bersemangat. Ia harus jaga jarak padanya, karena itu yang Nindy butuhkan. Dan Jian ingin membantu Nindy agar merasa nyaman.
"Kak Nindy, don't you think she's so lonely? Kayaknya dia nggak punya banyak temen selain temen-temennya yang bertiga sama kamu. Iya nggak sih?" Entah habis melihat apa, tiba-tiba Sharon membicarakan Nindy. "Isn't she like us?"
Jian tak langsung menjawab. Ia menyetujui perkataan Sharon dalam hati. "Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu?"
Sharon tertawa kecil. "Dia kelihatan gabut sendirian, mukanya bete banget. Sampe akhirnya Kak Jayden datang. Dia keliatan sumringah banget pas ada temennya." Lagi-lagi gadis ini menceritakan soal Nindy padanya, lebih tepatnya melaporkan apa yang tidak bisa dijangkau matanya. Karena tempat duduknya membelakangi gadis itu. "Kak Jian mungkin nggak sadar, once you look at her, your world is only about her. It means like you will conquer everything for her."
Jian diam. Bukan karena tidak bisa menjawab. Ia hanya tidak bisa menceritakan tentang perasaannya. Ia terbiasa bercerita pada Sharon, terkecuali tentang perasaannya. "Glad you know much about me, Sha. Sorry."
"Kenapa minta maaf? Kemarin waktu kita makan, setelah Kak Jian pulang dan aku balik dari teras abis anter kamu di pager. Papa ngajak ngobrol. Katanya, dia tahu, aku punya perasaan buat kamu. But if you don't, jangan paksa kamu. Kamu udah berjuang berat tanpa sosok ayah ibu. Papa udah anggep Kak Jian kayak anaknya, katanya. Kira-kira bisa nggak misal aku anggep Kak Jian kayak kakak aku?" Sharon menatap Jian dengan tatapan sendunya membuat wajah pemuda itu tampak menyesal.
"Sha, sorry."
Sharon menggeleng. "Nggak perlu, lagi pula nggak bisa maksain perasaan, kan? Kalo aku masih bisa punya kamu jadi kakak yang nggak pernah aku punya selama ini. Aku rasa itu cukup." Ia mengatakannya dengan senyuman yang membuat Jian ikut tersenyum.
"Kamu udah besar, udah bisa lebih bijaksana. Terima kasih ya."
Lagi-lagi Sharon tersenyum. "Kak Jian nggak perlu terbebani sama aku lagi. Kejar apapun yang pengen kamu kejar, Kak."
Mendengarnya, senyum Jian pudar. "Pengen semuanya membaik sama Nindy, but she's not fine. Tapi seenggaknya aku udah seneng bisa ngobrol sama kamu tanpa kepikiran apakah aku nyakitin kamu lagi atau nggak."
Sharon tertawa. "Aku sempet berpikir egois. Pikirku kalo Kak Jian sama Kak Nindy balik lagi, aku bakal sendirian lagi karena Kak Jian nggak bakal inget aku." Ia menyesal karena berpikir seperti itu, nyatanya Jian ternyata peduli padanya.
"Kamu dan Om Yohan itu bagian dari masa-masa sulit aku, Sha. Tanpa kalian, mungkin aku nggak akan bisa bertahan sampe sekarang. Buat apa tetep hidup dengan warisan, tapi aku sebatang kara? Tapi kalian ngijinin aku ngerasain rasanya punya keluarga. Aku bersyukur banget buat itu." Jian menatap Sharon yang ternyata sudah berkaca-kaca. "Kok nangis?"
Sharon mengambil tisu yang sudah disodorkan Jian padanya. "Ternyata aku childish banget, padahal Kak Jian nggak pernah sekalipun bilang nggak tiap aku minta sesuatu. Cuma pas aku minta kamu bales perasaanku aja, kamu bilang nggak. Tapi aku malah egois. Maaf."
"Nggak perlu, Sharon. Sekarang kamu harus fokus aja kuliah, jangan mikirin yang nggak perlu ya? Kamu tetep bisa panggil aku kapanpun kamu butuh. Oke?" Jian menatap gadis yang berusia setahun di bawahnya ini. Ingatannya melayang pada saat ia dibawa ke rumah Yohan setelah dijemput dari rumahnya, selepas ia ikut mengantar pemakaman ayah ibunya.
"Jian, sekarang kamu Jian ya, Nak. Kamu anak Om. Dan di sini adalah rumah kamu." Yohan merangkul anak yang hanya setinggi pinggangnya waktu itu.
Jian kecil mendongak untuk menatap teman Papanya ini. "Jian? Aku Jian, Om? Kenapa bukan Andy?"
Yohan kini berjongkok agar bisa menatap sejajar anak berusia enam tahun. "Jian mau punya adik? Sharon nggak punya teman, jadi dia butuh Kakak untuk temani dia. Andy mau jadi Kakak Jian buat Adek Sharon?"
Jian tersenyum. Ia ingin jadi Kakak. Jadilah ia hanya mengangguk saja saat harus berganti nama menjadi Jian. "Mau, Om."
"Sekarang ayo masuk, Adek Sharon nunggu kamu di dalam."
Sesampainya si ruang tamu, ia menemukan Sharon sedang bermain boneka sendiri. "Kak Andy kenapa di sini?"
Jian menggeleng dan segera berlari agar bisa mendekat ke Sharon. "Jangan panggil Andy, sekarang aku jadi Kakaknya Adek Sharon, panggil aku Kakak Jian ya, Adek."
Sharon berbinar-binar. "Kakaknya Sharon? Kakak Jian?"
Jian mengangguk. "Iya Kakak Jian itu Kakaknya Sharon."
Yohan menyaksikannya sambil menitikkan air matanya. "Joanes, Jian sangat kuat. Jangan khawatir."
"Kak Ji." Sharon menepuk-nepuk tangan Jian. "Ngalamun ya?"
Jian mengerjapkan matanya. Ia tak sadar tengah melamun. "Oh enggak cuma lagi ada pikiran aja." Ia menghabiskan minumannya dan menatap jam di ponselnya. "Kamu masih kelas? Aku sejam lagi ada kelas nih."
Sharon menggeleng. "Abis ini mau pulang aja. Kak Jian pasti bisa. Ah maksudnya nyelesain yang seharusnya kak Jian selesain. Aku duluan ya." Lalu ia berlalu meninggalkan Jian yang kini menghela nafasnya karena merasakan pikirannya sangat penat sekarang.
*****
It's great to grow up with you, Kak Ji. Now is time for you to pursue your happiness. I will be here, always, as your younger sister.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck on You
Fanfiction"Lo pasti udah pernah denger ini, balikan sama mantan tuh ibarat lo baca buku yang sama. Endingnya tetep sama. Nggak ada yang berubah sama alurnya." "Tapi gue nggak akan tau kalo nggak ngebuktiin sendiri." "Dengan balikan sama mantan lo? Kenapa sih...