An appointment

22 6 0
                                    

Program KKN di kampus Nindy untuk sebagian fakultas akan dilaksanakan pada semester lima. Kini ia sudah tinggal sedikit lagi untuk menyelesaikan semester empatnya. Terasa cepat namun lambat bagi Nindy, namun ia bersyukur tak ada kendala yang berarti.

Sekarang ia masih di kampus padahal sudah pukul enam sore, hampir dua jam setelah ia selesai kelas. Untung saja ia hari ini libur, jadi tidak perlu ijin ke Dianne. Ngomong-ngomong sudah hampir setahun ia bekerja part time di restoran Dianne, Star. Ia menikmatinya meskipun terkadang cukup lelah namun ia tidak keberatan karena ia tak mengikuti organisasi di kampusnya.

"Lo pembagian kapan deh, Nin? Punya gue udah keluar sejam lalu." Alice duduk di samping Nindy. Lalu mencomot pisang goreng di meja.

Nindy menggeleng lalu meminum es tehnya. "Bilangnya jam tujuh, semoga nggak molor deh. Soalnya kan habis itu disuruh gathering bentar kan, Lis?"

"Iya gathering, gue sekelompok sama Jayden. Wina sama Jerry sekelompok."

Nindy tertawa. "Enak banget sama Jayd. Wina juga hoki banget deh. Gue sama siapa ya?"

Alice mengendikkan bahunya. "Di kelompok gue, ada dua orang yang sefakultas beda jurusan. Tapi apesnya gue sendirian di fakultas gue, eh gue sama si itu siapa sih ceweknya Jian?"

Nindy yang sudah lama tak mendengar nama itu agak menegang. Namun segera dinormalkan mimiknya sebelum Alice menyadarinya. "Sharon?"

Alice menjetikkan jarinya. "Nah iya bener. Eh you're okay with it? Sorry gue lupa."

"Santai, Lis. Gue udah nggak ada apa-apa sama dia."

Alice mengusap bahu Nindy, ia tahu temannya ini belum bisa melupakan pemuda itu. "Dah ah, jangan bahas itu. Gue temenin deh sampe pengumuman keluar. Semoga aja tempatnya nggak jauh banget ya."

"Ditentuin? Lo dimana, Lis?"

Alice tersenyum. "Di Desa Mawar, kota asal lo kan? Tapi gue di perbatasan selatan."

Nindy mengangguk. "Ih deket dong, gue dimana ya? Takut kalo ternyata jauh."

"Ntar gue rajin-rajin nengokin deh kalo nggak jauh-jauh amat ya." Ledeknya yang membuat Nindy mendengus sebal.

Tak ada obrolan di antara mereka, Alice sibuk dengan ponselnya juga Nindy. Sampai akhirnya tiba-tiba Nindy meletakkan ponselnya di meja kantin agak kasar hingga membuat Alice menoleh.

"Kenapa?" Alice menatap Nindy yang memandangnya dengan tatapan bertanya.

Nindy tertawa. "Gue KKN di kota gue juga, Lis. Agak jauh sih di bagian utara, tapi seneng bisa pulang sering. Tapi lo harus tau, gue sekelompok sama siapa." Ia memasang wajah malas. "Lo liat aja deh sendiri."

Alice meraih ponsel Nindy dan matanya membulat saat membaca tulisan di ponsel temannya itu. "Jian?" Lalu ia tertawa keras. "Di antara banyaknya anak FEB yang kebagian dapet 2 orang di satu kelompok, kenapa harus dia coba." Gadis itu meredakan tawanya dan menatap Nindy. "Lo kumpul sekarang?"

Nindy mengangguk lemas. "Pengen balik anjir, Lis. Balik aja apa ya gue? Ijin sakit gitu."

"Nggak nggak, udah sana kumpul bentar. Lo masih ada waktu nyiapin mental." Ia menarik Nindy yang ogah-ogahan berdiri. "Lo nggak bisa ngehindarin dia selamanya, Nin. Now or never." Perkataan Alice membuat temannya itu akhirnya menyerah ditarik Alice untuk pergi ke tempat kelompoknya meet up.

*****

Nindy baru selesai kumpul kelompok KKN-nya pukul setengah delapan, mereka membahas soal tanggal survey dan rencana program kerja kelompoknya. Dari fakultasnya ternyata dia sekelompok dengan Ardhan dan Jian, Nindy bersyukur ada orang yang dikenalnya meskipun salah satunya Jian.

Nindy berjalan menjauh menuju gerbang fakultasnya, ia mencari keberadaan Alice yang katanya hendak main ke kosannya. "Kok Alice nggak bales chat gue sih?"

"Nggak balik, Nin?" Ardhan bersama Jian menghampirinya. Sepertinya hendak ke parkiran, karena keduanya membawa motor.

Nindy mengangguk. "Lagi nunggu Alice nih." Ia melirik Jian dari ekor matanya, pemuda itu terlihat sibuk dengan ponselnya.

"Nggak kemaleman? Takutnya dia udah pulang. Mau bareng gue?" Ardhan menawarkan. "Kos lo daerah mana?"

Nindy masih memperhatikan Jian, namun kini pemuda itu memasukkan ponselnya dan seperti menunggunya menjawab. "Eh nggak kalian duluan aja. Gue gampang, nanti bisa balik sendiri."

"Daerah mana kosan lo?" Ardhan masih tidak menyerah menanyainya.

"Kebon Anggrek."

Ardhan mengangguk. "Itu daerah kontrakan Jian, lo mau nebeng gue apa Jian. Searah juga sama arah gue pulang."

Nindy meringis. Pilihan macam apa itu. Ia memang tidak masalah harus menebeng Ardhan tetapi takut merepotkan.

"Sama gue aja, kosan dia deket gue." Jian yang menjawab.

Ardhan mengangguk. "Ya udah sama Jian aja, Nin." Lalu ia menarik Nindy agak mengikuti mereka ke parkiran. "Lo kabarin dulu Alice takutnya nyariin." Nindy yang masih merasa tangannya digenggam Ardhan kemudian menepuk tangan pemuda itu. "Oh iya lupa, sorry. Lo sih kelamaan mikirnya."

Jian mengikuti langkah mereka dari belakang dengan ekspresi yang agak sebal.

*****

Nindy turun dari motor Jian ketika mereka sudah sampai di depan kosan Nindy. Nindy hendak berterima kasih lalu berlari masuk ke dalam. Saat setelah mengucapkan terima kasih dan selamat malam, Jian memanggilnya. Gadis itu berbalik dengan ragu.

Jian menyembunyikan senyum ketik melihat ekspresi Nindy yang tampak gugup. "Nin, helmnya."

Nindy menyentuh kepalanya dan menyadari helm Jian masih ia pakai. Sialan, kok gue bisa nggak sadar sih. Batinnya. "Ah iya sorry, Ji. Ini makasih ya." Nindy menyerahkannya dengan cepat lalu berlari masuk ke dalam kosannya dengan wajah yang memerah.

Jian mengamati gadis itu dengan lekat hingga ia menghilang dari pandangannya. Nindy masih sama lucunya dan itu membuatnya ikut bahagia. Iya, dengan hal sesederhana itu. "Gue kangen banget bisa seneng karena hal-hal kecil yang lo kasih ke gue, Nin." Ia menghela nafasnya berat lalu menyalakan mesin motornya dan melajukannya meninggalkan kos Nindy.

*****

Nindy baru saja hendak merebahkan tubuhnya di atas ranjang kamar tidur kosannya, ketika ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.

Kak Rean
Nin, I'd like to clear up everything Besok bisa ketemu?

Nindy mengerutkan keningnya ketika membaca pesan dari Rean. Entah everything seperti apa yang hendak ia selesaikan. Tetapi Nindy rasa ia harus menyelesaikannya dengan Rean. Maka ia ketikkan balasan buatnya.

Bisa, kak, gue free pagi
Sent.

Rean menawari pertemuan pukul sembilan dan Nindy menyetujuinya. Sejujurnya ia takut namun tak begitu jelas apa yang ia takutkan. Semoga saja segalanya tidak menjadi semakin rumit. Ia sudah berhasil menghindar dari Rean karena kenyataan seperti berpihak padanya, ia jarang sekali bertemu pemuda itu. Nindy bersyukur untuk itu. Namun ia sadar tidak bisa menghindari selamanya. Maka jadilah ia semalaman memikirkan semua yang membebani pikiran juga perasaannya.

*****

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang