Sleep Well, Ji

86 12 1
                                    

"Gue gapapa, Jayd. Lo nggak perlu nginep di sini." Sudah lebih dari lima kali ia berkata begitu sejak sadar ia terbangun di ruang rawat di sebuah rumah sakit. Namun si empunya nama masih saja tak mau mendengarnya.

Jayden berdiri dari sofa yang didudukinya. "Kuat berdiri nggak lo?"

Nindy mendengus lalu nekat menurunkan kedua kakinya dari ranjang rumah sakit. Ia sebetulnya tidak yakin tapi rasanya ia cukup kuat. Saat mencoba berdiri dan berjalan ke arah sofa dengan mengangkat infusnya. Ia mundur lagi. Badannya melemas.

Melihat itu, Jayden bergegas menghampirinya dan membantunya berbaring lagi di ranjang. "Jangan ngeyel. Dibilangin juga apa. Emang kenapa sih kalo gue di sini? Lo nggak suka?"

"I just feel worry."

Jayden menghela nafasnya berat. "He's okay, gue udah tanya dokter tadi. Lo yang harus dikhawatirkan. Bisa-bisanya nggak makan dua hari sampe magh lo kambuh."

"Gue terlalu takut, Jayd. Sampe rasanya makan aja nggak enak."

Jayden menghela nafas lagi. "Lo punya hutang penjelasan ke gue soal pistol yang lo pinjem. Belum lagi lo yang tiba-tiba manggil gue buat bantuin Jian dan malah lo yang pingsan. Kalian ini ngapain?" Ia duduk di samping ranjang rawat Nindy sambil mengerutkan keningnya. "Belum lagi si Rean dateng-dateng mukanya babak belur."

Nindy terdiam. Dia nggak bisa jawab apapun karena ini menyangkut rahasia Jian. "Makasih, Jayd. Sorry malah ngerepotin lo malem-malem."

Jayden menggeleng. "Gue paham lo nggak mau cerita. Tapi jangan sakitin diri lo sendiri kayak gini, lo bikin gue jantungan setengah mati. Lo bisa nggak sih berhenti bikin orang-orang khawatir sama lo?" Cercanya dengan nada kesal yang kentara. "Untung Wina lagi pulang ke rumahnya, Alice juga belum gue kasih tau. Coba kalo tau, lo pasti udah diomelin."

Nindy terdiam. Ia merasa bersalah karena itu. She doesn't deserve it. "Gue... Sorry."

Jayden tiba-tiba memeluknya. Erat dan terasa hangat. Seperti meluruhkan sedikit kecemasannya sejak beberapa hari ini. "Lo tau gue bakal selalu ada buat lo, sekarang bahkan gue nggak boleh tau padahal lo udah luka kayak gini. Apa yang Jian lakuin? Apa yang kalian lakuin? Lo pikir gue bisa ninggalin lo aja sementara lo tiba-tiba kayak gini?"

Nindy terdiam cukup lama, membiarkan Jayden mengelus rambutnya. Dia menyayangi sahabatnya ini. "Sorry," hanya itu yang bisa dikatakannya. Untuk semua hal, termasuk ia yang lagi-lagi menyusahkan Jayden dan untuk perasaan yang tak bisa ia balas.

"No need to, we knew it. Whatever it is, lo harus makan, gue bakal minta perawat buat bawa makanan buat lo."

Nindy seketika menatap Jayden. Apa yang dia tau? "Gue belum laper. Coba jelasin maksud lo tadi?"

Jayden mengendikkan bahunya. "Lo sama Rean lagi bantuin Jian, I think? Bantuin apa gue nggak tau. Perut lo kosong, lo harus makan biar bisa minum obat."

"Nggak perlu tau, Jayd. Gue baik-baik aja. Sekarang gue boleh ketemu Jian? Dia luka lebih parah dari gue."

Jayden berdecak sebal. "Nggak sekarang, dia lagi diinterogasi sama polisi."

"Hah? Kenapa?" Nindy berusaha berdiri namun Jayden mencegahnya. "Gue harus ke sana."

"Lo harus makan dulu, Nindy." Jayden menahan amarahnya sebisa mungkin, ia tidak bisa keras pada gadis ini.

"Gue bakal makan nanti, setelah gue liat Jian. Janji." Nindy tersenyum agak dipaksa, ia ingin menunjukkan pada Jayden kalo dia baik-baik saja.

Jayden menatap Nindy yang menatapnya serius. Namun melihat Nindy yang hendak berdiri, ia menarik gadis itu agar kembali duduk. "Lo nggak kuat jalan, gue ambilin kursi roda." Ketika dia liat Nindy menatapnya ragu, ia berkata dengan yakin. "Atau gue nggak akan bantuin lo ketemu dia sama sekali?!" Akhirnya Nindy menurut dan kembali duduk di ranjangnya.

***

Nindy sampai di ruang rawat Jian yang cukup jauh dari ruang rawatnya. Ia melihat dua orang berseragam polisi dan satu orang berpakaian hitam keluar. Akhirnya Jayden mendorong kursi rodanya masuk ke ruang rawat Jian. Ia melihat Sharon duduk di sofa dan Rean dengan wajah terluka dan dahi kanan yang diperban. Ia mengalihkan pandangan pada Jian yang masih dengan posisi tiduran.

"Boleh gue minta tolong tinggalin gue sama Jian aja?" Tanyanya pada semua orang di ruangan itu.

Jayden mengangguk lalu keluar setelah menepuk pelan bahunya. Kemudian Rean yang sempat mengelus rambutnya lembut. Satu orang tersisa, Sharon sempat menatapnya dengan pandangan yang tak ia mengerti, lalu tersenyum pada Jian kemudian keluar ruangan.

Nindy yang memastikan tidak ada siapapun selain ia dan Jian, kemudian menghampiri pemuda itu. Ia hampir menangis ketika melihat kondisi Jian yang jauh dari baik-baik saja. Kedua lengan bawahnya penuh sayatan, kepalanya diperban, serta wajahnya babak belur. "Lo nggak baik-baik aja." Itu kalimat pertama yang ia ucapkan saat Jian menatapnya, seperti menunggunya mengatakan sesuatu.

Jian menggelengkan kepalanya. Ia menarik kursi roda gadis itu agar mendekat padanya. "Gue keluar hidup-hidup, Nin. Maafin gue ya lo jadi ikut luka. Lo baik-baik aja?"

Nindy hanya diam lalu menggeleng pelan. "Gue nggak akan baik-baik aja kalo lo kenapa-kenapa." Jawabnya dengan suara parau, ia menahan tangisnya.

"Sst gue gapapa. Lo nggak perlu khawatir." Jian tak bisa melihat Nindy seperti ini, maka ia berusaha untuk duduk. Namun Nindy seperti memahami Jian. Ia semakin mendekatkan tubuhnya lalu memeluknya, agar Jian tak perlu susah payah duduk.

Hanya diam yang mengisi di antara mereka. Namun yang Jian tak tahu, Nindy menangis. Gadis itu memeluk erat orang yang ia sayangi, orang yang ia akan sedih sekali jika kehilangannya. "Tolong jangan bahayain diri lo. Gue mohon."

Jian tak menjawab namun mengelus punggung gadis itu. Kemudian sesegera mungkin melepas pelukan mereka ketika ingat bahwa mereka tak bersama lagi. "Kita pikirin itu nanti, okay? Yang penting kita harus baik-baik aja dulu."

Nindy menatap Jian lama dan dalam. Ia benar-benar menyadari seberapa ia merindukan Jian. Menatap pemuda ini secara dekat. "Terima kasih."

Jian mengerutkan keningnya. "Untuk?"

"Untuk tetap hidup."

Jian tertawa pelan. "Terima kasih juga dan maaf."

"Maaf karena?"

Jian memalingkan wajahnya ke arah lain. "Karena gue bikin lo dalam bahaya. Karena gue nggak bisa ngelindungin lo."

Nindy menangkup wajah Jian dengan kedua tangannya. "Bukannya gue selalu bilang kalo lo selalu punya gue. Lo nggak sendiri."

Perkataan itu justru mengingatkan Jian bagaimana ia melepas Nindy. Ia meninggalkan Nindy untuk mencegah Rjez menyerang orang terdekatnya termasuk gadis ini. Juga mempertahankan apa yang orang tuanya tinggalkan untuknya. Namun apa arti semua yang ditinggalkan orang tuanya jika ia harus seperti ini?

"Jian." Panggilan itu membuat lamunan Jian terpecah. "Apa ada yang sakit?" Nindy bertanya dengan tatapan cemas.

Jian tersenyum. "Gue baik-baik aja. Lo juga harus baik-baik aja."

Nindy tersenyum. "Gue nggak akan ganggu lo lebih lama. Lo harus istirahat biar bisa pulih dan pulang. Gue besok kayaknya udah pulih dan bisa jagain lo. Don't go anywhere until you're well recovered, promise?" Gadis itu mengacungkan kelingking kanannya.

Senyum Jian kembali timbul, ia menyambut acungan kelingking itu dan mengaitkannya erat dengan kelingkingnya. "Promise."

"Sekarang lo harus tidur dulu, gue akan datang lagi abis ini. Gue tunggu sampe lo tidur." Sebenarnya Nindy ingin menanyakan soal apa yang ditanyakan polisi padanya, namun sepertinya situasinya tidak tepat. Mungkin gue bisa tanya nanti.

Jian menggelengkan kepalanya. "Lo nggak harus tunggu gue tidur. Lo juga perlu istirahat. Gue bakal panggil Jayden." Nindy cemberut mendengarnya, hal ini malah membuat Jian gemas dan luluh. "Oke gue bakal tidur."

Nindy seketika tersenyum. Gadis itu menata selimut agar menutupi hingga dada pemuda itu, kemudian mengatur suhu pendingin ruangan menjadi sejuk. Nindy mengelus pelan tangan kiri Jian, karena ia tak bisa mengelus kepala pemuda itu lantaran lukanya. "Sleep well, Ji."

***
Double up hari ini karena untungnya lagi ada ide nih
Part ini agak sweet dulu ya, nggak tau deh kalo nanti hehe
Good night and see you~~

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang