Seminggu kemudian Nindy kembali kuliah. Ia berusaha lebih niat lagi agar nilainya semester ini lebih baik. Ia harus mempertahankan beasiswanya. Kali ini jam pertamanya di semester 3 adalah mata kuliah Pajak. Sekelas dengan Wina.
Ia tiba di kampus pukul tujuh kurang lima menit. Di lapangan bola ada sekumpulan anak baru sepertinya. Karena mereka berpakaian hitam putih. Ia melihat Rean berdiri di samping lapangan. Hendak menyapa namun keburu telat. "Kak Rey lagi ngapain?"
Rean menoleh pada Nindy. "Ah ini buat pembekalan mahasiswa baru aja. Bentar lagi kelar kok. Lo kelas selesai jam berapa?"
"Jam 2 udah kelar." Ia melihat jam tangannya lagi. "Gue duluan ya kak, kelas jam 7 nih."
Rean mengangguk dan Nindy kemudian berlalu. Tak lama setelah itu, Rean mengetikkan sesuatu di ponselnya dan tersenyum. Ini kesempatan kedua untuknya kan? Tanyanya dalam hati ketika melihat Jian berjalan dengan Sharon.
***
Nindy merasa sedikit lesu padahal ini baru selesai jam pertama kuliahnya. Sebetulnya ia berharap karena ini hari pertama kuliahnya, maka dosennya pun akan memberi keringanan atau mungkin sekedar awalan untuk materi-materi nantinya.
"Jadi, saya rasa untuk mata kuliah saya cukup. Silahkan cari literasi untuk presentasi individu kalian. Kita nggak cuma presentasi tetapi anggap saja ini simulasi sidang skripsi kalian." N
Lalu dosen mata kuliah Ekonomi Moneternya memberi salam penutup dan keluar dari kelasnya.Nindy meletakkan kepalanya di meja. Ia lelah karena jujur liburan kemarin ia tak pernah tidur layak. Semalam pun ia masih mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Meskipun ibunya bilang ayah sudah sembuh. Tetapi ia masih cemas.
"Gue mau ke kantin. Dosen mata kuliah ketiga nggak masuk, Nin. Beliau jadi penguji skripsi hari ini." Wina menghampirinya dan membuatnya mengangkat kepalanya.
"Ikut deh, gue laper banget." Nindy pun berdiri mengikuti langkah Wina ke kantin.
Ketika mereka duduk di sana, ada hal yang membuat Nindy malas. Ia melihat seseorang yang paling tidak ingin ditemuinya sekarang. Jian. Pemuda itu berada di kursi kantin sendirian.
Nindy menarik Wina ke bangku di paling ujung. "Di sini aja." Untungnya Wina pun tak menolak.
"Gue bisa bentaran doang, Nin, mau ada kumpul soal pelantikan Hima nih di aula pusat."
Nindy mengangguk. "Oh iya gapapa, gue mau ke perpus aja kalo gitu."
Mereka menikmati batagor pesanan mereka dalam diam. Sampai akhirnya Wina menanyakan apa yang ia berusaha sembunyikan. "Lo kenapa ngilang kemarin-kemarin? Gue berusaha nahan buat nggak tanya sejak lo tiba-tiba pulang dan dianter kak Rean. Terakhir gue ketemu dia aja pas abis lo pergi dan dia nanyain ke gue dimana lo."
Nindy menghela nafasnya. "Alasannya klise. He throws me away again. Jian." Katanya menjawab pertanyaan Wina. Dengan nada yang pelan ketika menyebut nama Jian.
Wina membelalakkan matanya. "Dia? Serius? Dia yang tadinya ngejar-ngejar lo. Dia yang kayak hero pas lo abis patah hati sama Rean? What the F-" Nindy menghentikan perkataan Nindy.
"Jangan keras-keras, ada orangnya."
Wina mengangguk namun tak memadamkan ekspresi marahnya. "Gue nggak habis pikir, Nin. He's playing on you then?"
Nindy mengendikkan bahunya. Di aaat seperti ini pun ia masih sangat sadar, bahwa cerita Jian mengenal kehidupan aslinya harus tetap disimpan rapat-rapat. Pun ketika ia dan Rean menjadi saksi di kasus Rjez. Ia meminta agar identitas mereka juga Jian tak perlu disebut.
"Entahlah gue rasa dia nggak seburuk itu. Tapi gue capek. Gue nggak mau tersakiti lagi."
Wina mengelus pelan bahu Nindy. "Gue turut sedih soal itu. Tapi lo nanti balik kos kan? Kita ngobrol lagi sama Alice juga. Banyak yang harus kita omongin kan? Sorry banget, gue udah ditunggu soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck on You
Fanfiction"Lo pasti udah pernah denger ini, balikan sama mantan tuh ibarat lo baca buku yang sama. Endingnya tetep sama. Nggak ada yang berubah sama alurnya." "Tapi gue nggak akan tau kalo nggak ngebuktiin sendiri." "Dengan balikan sama mantan lo? Kenapa sih...