We Can't Anymore

26 6 0
                                    

*Warning: trauma triggered

Rean mengajak Nindy ke sebuah rumah yang cukup luas dengan plang bertuliskan Nia Psychology "Konsultasi Layanan Psikologi". Nindy menatap Rean bingung, namun pemuda itu hanya tersenyum dan menarik tangan Nindy agar mengikutinya masuk.

"Pagi, Kak Yasmin." Rean menyapa resepsionis setelah mereka masuk yang kemudian dibalas ramah. "Aku langsung ke Tante Nia apa nunggu dulu nih, Kak?"

Yasmin, resepsionis itu mengecek monitor sebentar lalu menoleh pada Rean. "Boleh langsung aja, Kak, ke ruangan yang biasa. Ibu Nia ada di dalam. Temen kamu mau tunggu di sini atau ikut?"

Rean tersenyum sebelum menjawabnya. "Ikut ya, Kak. Aku ke Tante Nia dulu, nggak perlu dianter."

Rean kemudian berjalan menuju suatu ruangan yang berada di ujung sebuah lorong pendek. Langkahnya berhenti di depan pintu bertulisan Trauma Treatment. Nindy sekali lagi dibuat bingung namun ia masih diam. Hendak memahami apa yang ingin ditunjukkan Rean padanya.

Tok tok tok. Rean mengetuk pintu ruangan itu yang disahuti seseorang. "Silahkan masuk." Kemudian mereka menemui seorang dokter wanita yang tersenyum pada Nindy dan Rean. "Hai, Rean. Dan ini pasti Nindy?"

Dokter dengan name tag bertuliskan Nia Ardiana itu kemudian menyongsongnya dan Rean. Rean menyalaminya dan Tante Nia, begitu dokter tersebut meminta dipanggil.

"So, Rean mau langsung kayak biasa atau mau konsultasi dulu?" Dokter Nia membuka sebuah notes dengan pulpen di halaman yang masih kosong.

Rean mengangguk. "Langsung aja, Tante. Boleh aku biarin Nindy lihat ini?"

Tante Nia mengangguk. "Boleh, tante rasa dengan kamu ajak dia. Berarti kamu memang sudah siap untuk memberitahu pada orang yang kamu percayai." Wanita paruh baya itu membuka tirai yang ada tempat tidur mirip ranjang rumah sakit dan membiarkannya terbuka, sehingga Nindy yang berada di tempatnya bisa memandang jelas ranjang di balik tirai dimana Rean mulai berbaring. "Nindy, kamu bisa tetep duduk di sofa tempat kamu sekarang ya." Perkataan wanita itu kemudian diangguki Nindy.

Tempat tidur pasien itu tampak seperti ranjang rumah sakit pada umumnya namun dengan bagian kepala lebih tinggi serta memiliki kemiringan. Selain itu, warna seprai tempat tidur itu tidak putih seperti rumah sakit, namun berwarna krem yang memberi kesan hangat. Tak lupa ada lampu gantung-entah apa namanya, yang berada di atas ranjang berwarna warm orange.

Rean berbaring setelah melepaskan jaketnya dan meletakkan ponsel, dompet, juga kunci mobilnya. Ia menoleh dan tersenyum pada Nindy yang masih duduk dengan kaku di sofa. Ia kemudian menatap lurus ke langit-langit.

"Rean, kamu fokus ya. Dalam hitungan kelima kamu perlahan tutup mata ya. Seperti biasa kamu tarik dan buang nafas seperlunya. Yuk." Kemudian Tante Nia menghitung dan Rean melakukan instruksinya. "Tolong ingat-ingat hal yang paling membuat kamu sedih dan terluka. Rasakan perasaannya dan luapkan emosi kamu. Katakan yang ingin kamu katakan."

Rean masih menutup matanya. Kemudian wajahnya tampak mengerut seperti merasakan sesuatu. "Rasanya masih sama tante, aku masih inget luka dari setiap yang Papa kasih. Rasa sakit setelah irisan di kulit aku setiap malam." Masih dengan menutup matanya, Rean melanjutkan. "Keinginan aku buat terjun dari ketinggian udah nggak ada." Lalu pemuda itu diam dan menangis.

Tante Nia mengangguk kemudian ia mengelap keringat Rean. "Re, rasakan emosimu. Luapkanlah semuanya." Saat Rean menangis sesenggukan, Tante Nia mengode Nindy agar menghampiri mereka. Gadis itu menghampiri mereka dan diajak agar duduk di sebelah Rean. Tangannya diminta untuk diulurkan pada Rean. "Ini Nindy." Kata Tante Nia.

Rean tersenyum ketika tangisnya mulai mereda. "Meskipun Papa bilang dia menyesal. Aku masih takut Tante. Aku masih nggak bisa Tante. Setiap malam aku merasa Papa bisa aja tiba-tiba muncul dan kembali memukulku seperti dulu."

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang