Is it over now?

35 10 0
                                    

Nindy memecahkan suasana sunyi di antara dirinya dan seseorang yang tak ia sangka meminta bertemu. "Lo udah baik-baik aja?"

Seseorang itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Karena bantuan lo juga, thanks."

Nindy hanya mengangguk sebagai responnya. Ia sempat ingin menanyakan maksud pemuda itu mengajaknya bertemu setelah hampir seminggu tak berkontak dengannya. Tetapi ia urungkan, biar Jian yang menceritakannya sendiri.

"I wanna say something, Nin." Setelahnya Jian meneguk minuman yang dipesannya, seolah berbicara beberapa kata itu membuatnya haus. "Lo udah banyak banget bantuin gue, bahkan di saat gue bersikap nggak baik ke lo. Even lo bilang bakal ngelakuin itu saat orang yang lo kenal mengalami hal itu. But I will thank so much for that."

Nindy mengerutkan dahinya tetapi tetap menjawab. "You're welcome(?)" Jawabnya seolah mempertanyakan haruskan ia menjawab begitu. Rasa-rasanya bukan ini yang ingin disampaikan Jian. Well she can wait.

"It's been a week since that day dan gue recovery di rumah Sharon. They take care of me so well, since I was a child." Jian menatap Nindy dengan pandangan yang tak jelas maknanya. "I'm sorry for not coming to you asap." Jian menghela nafasnya panjang.

Nindy masih diam dan mendengarkan apa yang ingin disampaikan Jian, meskipun ia sebenarnya penasaran. Sungguh bertele-tele sekali perkataan Jian.

"Gue tau gue begitu nggak tau diri, setelah gue ninggalin lo. Lalu meminta lo membantu gue. Menyakiti lo. Dan sekarang gue akan lagi-lagi kayak gitu." Ia mengalihkan pandangannya pada hal lain. "We're over, kan, Nin?"

Ah, inikah? Nindy diam tak langsung menjawab. "Aren't we? I think so."

"Karena lo juga mungkin udah punya orang lain yang tepat?"

Nindy tak ingin menjawab, tapi kali ini ia perlu menjawab jujur. "Gue nggak balikan sama Kak Rean. Kalo itu yang lo maksud."

Jian menatap Nindy. Ia barangkali sudah tahu, tapi seolah tak peduli. "Siapapun itu, gue harap lo bahagia nantinya." Ia kembali meminum ice lattenya. "Gue selalu sayang sama lo. But I can't stay, gue selalu jadi luka buat lo kan, Nin?"

Nindy tak bisa menjawab. Jujur meskipun mereka sudah selesai sejak beberapa waktu lalu, ia masih merasa tak ada yang berubah dengan mereka. Dengan Jian yang masih dekat dengannya dan membutuhkannya. Tiba-tiba amarahnya memuncak. "So, it's like you throw me away again?"

Jian memasang wajah tak terima, tangannya hendak meraih tangan Nindy, namun gadis itu menepis. "Bukan gitu, gue nggak pernah berniat membuang lo. Gue pengen lo lepas dari orang kayak gue. You deserve better man."

Nindy tertawa pahit. "So you just realized that you're not good? Gue kira dengan lo menyadari itu, bakal bikin lo berubah. But you're not. You're still a bastard. Lo bahkan nggak pernah tanya perasaan gue, sekalipun." Ia menatap Jian. "Gue kurang nunjukin apa sampe gue bela-belain ikut lo, di saat lo bahkan buang gue?"

Jian merasa bersalah, sangat. Ia tahu ia sangat tidak bisa dimaafkan. Tapi ia tak ingin Nindy kembali terlibat dengan dirinya yang rumit. "I'm sorry, gue tau gue nggak tau diri. But this is what I can do now, Nin."

"Gue ketemu Dianne kemarin." Nindy tak menjawab perkataan Jian. "Iya bener, gue ke Star. Gue nggak berani ke makam orang tua lo, karena lo nggak pernah ajak gue ke sana. Jadi gue hanya ke Star, memandang dari jauh bukit-bukit itu. Sempet berharap ketemu lo di sana. Tapi gue lalu diajak ketemu Sharon setelahnya."

Kali ini giliran Jian yang diam. Ia ingin mendengar apapun yang ingin dikatakan Nindy. Sekalipun itu makian.

"She said, kalo gue ngelepasin lo, gue masih punya temen-temen gue dan orang tua gue. Tapi dia cuma punya lo dan bokapnya." Nindy diam sejenak lalu melanjutkan. "Gue kali itu pengen nggak peduli, kenapa gue harus peduli. Kenapa gue harus bertanggung jawab sama kebahagiaan dia. Lalu gue berpikir, kalo lo mau stay sama gue. That's okay for me. Tapi nyatanya ini yang pengen lo bilang. Maybe she will get you."

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang