No title

93 21 1
                                    

Nindy tau ini gila, malem-malem dia datengin kontrakan buat mastiin sesuatu. Dia sadar dia nekat, padahal tau kalo Rean sama Jian tinggal di satu kontrakan. Tapi dia nggak bisa abai gitu aja, nggak setelah cerita Yovan tadi siang.

Di sinilah dia, ngumpet di samping tembok tinggi bagian luar bangunan dua tingkat itu. Dia nggak bisa munculin diri di pagar kontrakan mereka dan berakhir ketauan Jian.

Waktu suara pagar dibuka, Nindy merapatkan masker dan jaketnya. Takut kalau itu bukan orang yang dia tunggu.

"Kenapa, Nin?" Suara datar itu memasuki pendengarannya dan membuatnya mendongak.

Nindy membuka masker dan tudung hoodienya. "Gue denger lo ke tante Nia. Lo gapapa?"

Rean mengangkat sebelah alisnya lalu menarik napas berat. "Nggak di sini. Ayo." Rean jalan duluan entah hendak kemana, kemudian diikuti Nindy yang meski bingung tetap mengikuti langkah cowok itu.

Mereka sampe dua menit kemudian di taman komplek dan duduk di kursi di balik pohon.

"Kenapa lo harus peduli sih, Nin?" Begitu perkataan pertama Rean saat mereka duduk.

Nindy yang mendengar itu cuma menggeleng. "Gue nggak bermaksud apa-apa, Kak. Karena gue tau cerita lo bagian itu, gue nggak bisa abai gitu aja."

Rean tertawa hambar. "Lo cemasin gue?"

Nindy sebenarnya tau kalo dia harusnya nggak perlu sebegininya, tapi dia bener-bener harus make sure kalo mantannya ini nggak nekat. "Lo udah pernah mau commit suicide gara-gara lo terguncang waktu itu. Gue nyaksiin itu, Kak. Gimana bisa gue diem aja. Even lo bergantung sama obat itu lama banget jadi kaya gimana bis-"

"Stop it, Nin. Jangan bikin gue berharap lagi. Gue malu kalo inget itu, lo tau selemah apa gue. I pushed you away karena gue nggak mau bergantung terus sama lo. Karena gue tau gue nggak bisa lepas dari lo." Rean melirik sekilas pada Nindy lalu menunduk. "Gue berusaha ngelepasin lo, yang pada akhirnya gue ngerasa nyesel setelah liat lo sama Jian. Dan gue ngelakuin hal bodoh ke Alice."

Nindy mengerutkan keningnya. Jujur dia agak kaget, karena fakta ini baru dia denger hari ini. "Gue nggak ngerti."

"Pas gue ngilang waktu itu, gue full recovery ke tante Nia. Termasuk gue berusaha sebisa mungkin mengabaikan lo, meskipun beberapa kali gue rasanya pengen bodo amat dan tetep sama lo. Dan gue akhirnya memutuskan buat being rude ke lo."

Nindy mulai mengerti tentang perubahan sikap Rean saat itu. Yang masih dia nggak paham kenapa Rean harus takut bergantung sama dia. "Memangnya kenapa kalo lo bergantung sama gue? Gue nggak pernah merendahkan lo atau apapun kan."

Rean mencebik sebel. "Karena gue tau kalo gue nggak akan bisa lepasin lo, kalo gue nggak nyoba kayak gitu, Nindyyy. Karena gue bener-bener sayang sama lo, jadi gue nggak mau ngerasa lo terbebani sama gue yang lemah kayak gini."

Nindy termenung. Perkataan pemuda itu membuatnya merasakan perasaan aneh. Dia mempertanyakan apakah keputusannya mendatangi Rean ini adalah kesalahan.

"Berhenti peduli sama gue kalo lo nggak pengen bikin gue nekat buat milikin lo lagi. Tapi kalo lo gini lagi, don't blame it on me, it's your fault. Gue bukannya nggak peduli sama Jian, tapi lo itu hal lain. I'll do everything for you."

Nindy menggeleng. "Sorry, gue cuma mastiin lo baik-baik aja. Nggak expect bakal gini. Sorry, Kak. Gue lega lo gapapa, jadi gue pamit du-" Dia merasakan tubuhnya ditarik ke pelukan seseorang. Rean memeluknya.

"Gue tau nggak seharusnya gue gini. Tapi ngeliat lo ngekhawatirin gue gini, gue ngerasa bahagia banget. Jujur gue bohong kalo gue udah bisa ngelepasin lo sepenuhnya. Tapi rasanya kalo meminta lo balik ke gue, itu jahat banget." Rean berkata dalam pelukannya.

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang