"Iya ma, minggu depan Nindy usahain. Nanti Nindy kabarin lagi ya. Udah kok udah beli makan. Mama sama papa juga sehat-sehat ya. Oke ma, Nindy tutup ya." Nindy mengakhiri panggilan dari Mamanya itu. Kemudian ia merasa canggung, setelah apa yang hampir terjadi tadi.
Jian sama canggungnya tapi dia ngerasa bersalah entah kenapa. "Sorry, Nin."
"Buat?" Nindy reflek menatap Jian tepat di matanya, tapi kemudian dia agak menyesal karena malu teringat tadi lagi.
"Ah just, ya maaf aja."
"Nope, it's our two consent." Nindy senyum. "Ngomong-ngomong soal cerita lo tadi, udah selesai sampe situ? Eh maaf bukannya gimana-gimana."
Jian mengangguk maklum. "Belum, tadi kepotong gue nangis ya, cengeng banget. Sorry." Katanya sambil terkekeh tapi kemudian mendapat gelengan dari Nindy. "Ini rumah yang mereka siapin buat gue, rumah yang beda sama yang gue tinggalin sama mereka waktu gue kecil. Gue tau rumah ini saat gue masuk SMA. Ayahnya Sharon yang ngasih tau gue. Beliau kuasa hukum papa gue. Gue dititipin ke panti asuhan sejak ditinggal sama orang tua gue. Ayahnya Sharon yang selalu mastiin gue hidup dengan baik. Itulah kenapa gue juga jadi deket sama Sharon. Dia temen kecil gue, dan ketemu lagi pas gue udah di panti umur 6 tahun."
Nindy setengah ternganga. Dia nggak percaya kalo Jian ternyata menyimpan kisah sedih kayak gini sendirian. "Lo hebat, Ji."
Jian tersenyum. "Gue nggak mau ngecewain orang tua gue."
Seperti teringat sesuatu, Nindy menjentikkan jarinya. "Lo bilang orang-orang ngiranya lo udah nggak ada, tapi lo selamat. Terus anak kecil yang dibawa ortu lo siapa?"
"Gue nggak ikut waktu itu, nggak tau juga siapa anak yang dimaksud. Gue sengaja nggak diajak karena mungkin ortu punya feeling, soalnya kalopun ada business trip nggak pernah sekalipun beliau ninggalin gue."
Nindy menepuk-nepuk pelan kepala Jian. "Gue beneran salut sama lo."
"Jangan gitu ah, gue malu." Jian merapikan rambutnya sebagai pengalihan salah tingkahnya. "Tapi gue belum pengen tinggal di sini, Nin. Nggak tau kayak gue nggak mau kesepian aja."
"Lo udah nyaman tinggal di kontrakan ya?"
Jian mengangguk. "Meskipun anak kontrakan kayak Bang Jendra, Bang Rean, Bang Yovan sama yang lain lebih tua dari gue semua, gue tetep ngerasa nyambung meskipun kadang gue dianggep kayak bocah banget. Soalnya mereka tau gue nggak punya temen selain mereka dan Sharon."
Nindy ikut lega melihat Jian yang terlihat tegar. Ia berharap bisa menemani Jian untuk waktu yang lama juga. "Count me in."
"Lo kan more than friends haha." Jian mengacak gemas rambut Nindy. "Habis ini mau kemana? Gue dititipin Bang Rean terang bulan."
Nindy terlihat berpikir. "Balik aja yuk, besok masuk pagi juga kan. Minggu depan kita udah UAS ternyata."
Jian ketawa. "Ntar belajar sama gue."
***
"Masa? Lo pasti bohong? Orang kemarin gue masih liat Jian jalan sama anak kelasnya siapa sih Nindy-Nindy itu." Suara itu terdengar ketika ia berjalan melewati kantin fakultasnya. Ngapa nih gue disebut-sebut.
Si cewek rambut coklat kehitaman yang duduk di seberang si cewek pake bando pink ikut heboh. "Nggak percaya gue Jian gitu."
Ah, Jian. Dia jadi keinget cowok itu yang tiba-tiba berubah sejak seminggu terakhir. Perubahan yang bikin Nindy bingung sebenarnya. Soalnya Jian ngehindarin dia banget. Minggu ini minggu ujian semesteran, jadi waktu kuliah mereka nggak selama kayak jam kuliah biasa. Mahasiswa cuma harus datang dan ngerjain ujian, dan boleh pulang kalo udah kelar ujian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck on You
Fanfiction"Lo pasti udah pernah denger ini, balikan sama mantan tuh ibarat lo baca buku yang sama. Endingnya tetep sama. Nggak ada yang berubah sama alurnya." "Tapi gue nggak akan tau kalo nggak ngebuktiin sendiri." "Dengan balikan sama mantan lo? Kenapa sih...