D-Day

53 12 1
                                    

Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul 6 seperempat, masih sekitar 45 menit sebelum ia harus tiba di tempat itu. Dengan pakaian serba hitam head to toe, Jian menutup matanya sejenak lalu menatap matanya di kaca yang tampak menyiratkan sedikit resah. Ia menggeleng lalu keluar kamarnya dengan membawa tas jinjing.

"Gue bakal berangkat duluan, kalian jaga jarak. Pas gue masuk, gue nggak akan kunci pagarnya. Nanti kalian bisa tetep di mobil aja, gue bakal kasih isyarat kalo gue butuh bantuan." Kata Jian melihat dua orang yang berpakaian sama dengannya. Ia tersenyum sekilas melihat Nindy dengan rambut kuncir kudanya. "Kalo situasi udah nggak terkendali, tolong pergi aja. Jangan korbanin diri lo ya, Bang Rey, Nin."

Kedua orang yang diajak berbicara Jian hanya diam. Tentu saja tidak bisa, siapa yang bisa melihat orang terdekat mereka dalam bahaya dan mereka harus meninggalkannya. "Jangan berpikir seburuk itu. Yang penting kita usahain sebisa kita aja. Udah, Ji. Gue sama Nindy udah siap. Lo bisa berangkat sekarang. Gue bakal sampe sana nggak sampe lima menit setelah lo. Lo harus keluar hidup-hidup." Rean menepuk pelan bahu Jian. Ia tau adik kelasnya itu masih ragu.

Jian tersenyum. "Gue usahain. Anyway, thanks so much, gue berhutang banyak sama kalian. Gue pergi dulu."

Tersisa Rean dan Nindy di ruang tamu. Sampai akhirnya Nindy berdiri dan menunjukkan ponselnya. "GPS-nya udah pas, alat sadapnya juga udah nyambung ke earphone. Yuk berangkat."

Rean melirik sekilas pada jam dinding lalu menoleh ke Nindy dan ikut berdiri. "Yuk." Ia mengekor Nindy menuju mobil hitam miliknya. Mereka memastikan segalanya sudah siap hingga Rean menyalakan mesin mobilnya dan melaju cukup kencang meninggalkan kontrakannya.

***

Jian tak cukup berani untuk menghadapi sendiri sebenarnya. Tapi kepalang basah, ia sudah tiba di rumahnya sendiri. Rumah yang kini terasa seperti tempat jagalnya. Ia mengamati sekeliling, tak ada yang berubah di sekitar komplek ini. Sepi dan seperti tak berpenghuni saking jarangnya ia melihat orang maupun kendaraan melintasi jalanan komplek.

Ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengalungkan tas jinjing yang sedikit ringan karena ia sudah mengantongi satu pistol di kantong belakang celananya. Tas jinjing itu ia tinggalkan di luar pagar yang tak terjamah CCTV. Ia mengucapkan dengan teramat pelan. "Gue mau jalan ke dalam." Katanya pelan yang dijawab 'hati-hati' oleh dua orang di seberang sana.

Jian tak mengetuk pintu namun langsung mengetikkan kode. Ceklek. Pintu depan terbuka dan hanya gelap yang menyambutnya. Ia berjalan menuju saklar dan menyalakan lampu ruang tamu. Seketika lampu menyala, Jian terkejut setengah mati melihat kepala muncul dari balik sofa.

"Kau sudah datang." Pernyataan yang tidak perlu jawaban karena ia jelas-jelas sudah di sini.

Jian malas bahkan untuk sekedar menyapa, tidak setelah orang di depannya ini membuntutinya kemarin dan menyuntikkan jarum untuk mengambil darahnya. "Ada apa?"

Pria dengan kisaran usia akhir 30an dengan wajah yang tampak lebih tua, lantaran kumis tipis yang dibiarkan dan rambut yang memanjang menyentuh tengkuk. "Duduklah dulu, aku tak akan membunuhmu begitu aku tau siapa kamu." Katanya tak terdengar meyakinkan di telinga Jian. Namun ia hanya menurut. Ia duduk di sofa paling ujung. Dan Rjez mengambil posisi terjauhnya, di bagian paling ujung pula.

"Perusahaan itu sudah mati kau tau? Sejak sebelum ayahmu bilang ada perjalanan bisnis lalu kecelakaan pesawat menewaskannya dan ibumu."

Jian diam dan mendengarkan dengan seksama, lalu menjawab pertanyaan itu dengan singkat. "Tak begitu ingat, setauku ayahku hanya berusaha didepak para direksi. Lalu ia tersinggung dan melepaskan jabatannya."

"Tak sesederhana itu. Ia terlalu sering membual padahal kenyataannya ia berusaha melindungi reputasinya, bukan perusahaan. Ia mencuci uang. Memanipulasi harga saham. Lalu ia sendiri menjual sahamnya yang paling banyak dan kabur ke luar negeri."

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang