Don't Wait for Me

30 7 0
                                    


Nindy sudah di restoran Dianne sepagi ini, jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Ia beristirahat tiga hari sejak pingsan beberapa hari lalu. Ia merasa tidak enak pada Dianne.

"Nin, kalo lo masih butuh istirahat gapapa kok. Nanti kalo gue udah butuh banget lo, pasti gue info. Lo bisa istirahat di kamar belakang ya." Dianne menghampiri Nindy yang sedang mengelap meja dan kursi.

Nindy tersenyum. "Gue udah cukup istirahat tiga hari, Di. Sekarang udah baik-baik aja kok."

Dianne mengangguk setelah memastikan Nindy tidak terlihat pucat atau lemas. "Okay, gue tinggal baking dulu ya." Katanya sambil menepuk bahu Nindy dan berlalu ke dapur.

Sebentar lagi resto buka, jadilah ia bersiap dengan apron yang dikenakannya dan berdiri di balik meja kasir. Sebenarnya Nindy masih heran dengan dirinya sendiri karena akhirnya betul-betul berniat untuk part time, meski jadwal kelasnya sudah padat. Padahal waktu semester lalu saja, ia sambil part time mengelesi sepupu Jayden, ia sudah sangat lelah.

Lalu ia layangkan pandangannya pada bukit di seberang restoran. Itu tempat yang belum pernah didatanginya. Tempat makam orang tua Jian, yang pernah diceritakan padanya. Ingatannya melayang pada beberapa saat lalu, saat Jian dan Sharon ke restoran setelah berziarah.

"Kenapa jadi mikirin itu?" Monolognya sambil menepuk pipinya sendiri.

Hari ini hari Minggu, namun ia justru harus di sini. Kata Dianne, hari Minggu cukup banyak yang datang karena mereka sekaligus ke Bukit Bintang.

Ting. Pintu resto terbuka, Nindy hendak menyambutnya. Namun ia ingat jika resto belum buka. "Mohon maaf resto belum buka, silahkan duduk di kursi yang ada. Menunya akan saya bawakan ke sana." Ia menjelaskan dengan agak tertunduk sehingga tak melihat wajah pelanggan.

"Gue, sandwich sama latte aja." Suara pelanggan itu terdengar familiar.

Nindy mencatat pesanannya dan ia terkejut ketika melihat Jian di depannya. "Baik, pesanan akan diantarkan. Silahkan duduk."

"Lo nggak mau temenin gue?"

Nindy tak menjawab Jian, ia sedang tidak ingin berurusan dengan pemuda itu. "Sorry gue lagi kerja."

"Gue ijin ke Dianne."

Nindy menolak keras. "Nggak Ji, gue udah ijin kemarin."

Jian menatap Nindy lekat. "Sebentar aja."

Nindy menyerah. Mereka akan terus berdebat jika seperti ini. "Lo duduk dulu, gue akan bawain pesenan lo sekalian ijin Dianne dulu."

Jian mengangguk dan memilih duduk di dekat jendela.

Nindy membawa nampan berisi pesanan Jian lalu duduk di depan pemuda itu. "Waktu gue cuma 15 menit."

"Lo kemarin pingsan dan sakit." Itu bukan pertanyaan. "Gue nggak dibolehin Wina jenguk lo. Kita lagi ada masalah apa?"

Nindy diam. Ia tak tahu jika Jian sempat datang ke kosnya kemarin. Wina pasti tidak ingin ia kepikiran lagi, setelah ceritanya kemarin. "Gue nggak apa-apa, Ji. Gue emang lagi nggak pengen ketemu siapa-siapa kok, butuh istirahat aja."

Jian tampak tak percaya. "Lo masih marah gara-gara omongan gue waktu itu?"

Nindy jengah. Ia lelah harus menjelaskan lagi. "Ji, lo inget yang lo bilang waktu itu? We're over, right? Ayo kita bersikap kayak nggak saling kenal."

Reaksi Jian mendengar itu tampak tak terima. "Bukannya lo setuju kita jadi temen? Or is it too much? Lo masih sakit hati sama perkataan gue waktu itu?"

"Bukan," Nindy berusaha tersenyum. "Gue sadar, kalo kita nggak—atau mungkin belum bisa jadi temen. Kita punya cerita yang lebih dari itu dan mungkin belum berubah. Jadi, gue minta tolong buat nggak terlalu deket satu sama lain lagi."

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang