Give Up

48 10 0
                                    

Tiga orang yang sejak tadi saling bagi tugas kini duduk terdiam di sofa ruang rawat ruangan Jian. Rean terlihat hanya fokus ke ponselnya namun dengan dahi yang berkerut. Sedangkan Sharon yang duduk di bagian tengah, sebelah Rean, ia beberapa kali menelpon namun tak tersambung. Hal itu membuatnya sejak sejam lalu menampakkan wajah cemas. Satu orang lainnya, Nindy, tak kalah cemas dan tengah memikirkan sesuatu. Namun ia hanya termenung, di tangannya ada ponsel Jian.

Tangan Nindy bergerak mengutak-atik ponsel Jian. Ia bisa membuka password karena pemuda itu memberitahunya sejak lama dan tidak menggantinya hingga kini. Ia tak memberitahu Rean juga Sharon, kalau Jian meninggalkan sebuah note yang dibuat pukul 5 pagi. Sedangkan pemuda itu hilang dari sini pukul 9. Terlihat sudah direncanakan, bukan?

"Gue kayaknya harus ke bawah sebentar, Kak Rey, Sha. Mau nitip sesuatu?"

Rean mengalihkan pandangan ke Nindy. "Mau sama gue?"

Nindy menimbang sejenak. "Nggak usah, Kak. Gue cuma mau ke minimarket."

Sharon yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. "Boleh titip roti coklat sama yoghurt, Kak?"

Melihat mata bengkak Sharon, Nindy jadi terenyuh. Pasti gadis itu sangat mengkhawatirkan Jian. "Boleh, gue nggak akan lama kok."

"Gue kopi item kaleng biasa ya, Nin."

Nindy mengangguk lalu keluar ruangan setelah dibekali hati-hati oleh kedua orang tadi. Ia pergi ke depan salah satu deretan ruko yang tutup. Dihampirinya seseorang dengan jaket hitam yang familiar, orang itu sedang tertunduk dengan badan disandarkan ke salah satu pilar.

"Lo gapapa? Lo diapain sama dia?" Nindy langsung menyentuh kedua lengan Jian sambil berlutut.

Jian mendongak lalu menarik gadis itu agar duduk di sebelahnya. "Gue nyerah, Nin."

Nindy menyimak dengan seksama, ia melihat wajah pemuda itu yang pucat pasi lantaran belum sepenuhnya pulih. "It's okay, kalo lo belum siap cerita. Kita naik aja yuk? Lo butuh istirahat."

Jian mengangguk. "Sebentar lagi, ya? Gue ngerasa bodoh dan nggak tau malu banget kalo mau ketemu Bang Rean sama Sharon dengan kondisi kayak gini."

Satu lengan Nindy ia lingkarkan pada bahu Jian yang tampak rapuh sekali di matanya. Ia tepuk-tepuk pelan bahu itu dan diangsurkannya kresek putih yang dibawanya dari minimarket. "Minum dulu aja, gue di sini sama lo dan bakal nungguin sesiapnya lo, Ji."

Jian mengambil sebotol air mineral dan ditenggaknya hampir lebih dari separuh. Setelahnya ia berkata pelan namun sarat kebencian dan keputusasaan. "Harusnya dari awal gue nggak perlu ngeladenin dia."

Nindy hanya diam mendengarkan. Ia tahu Jian sedang tidak baik-baik saja, dan yang ia butuhkan hanya pendengar. Setidaknya saat emosinya belum reda.

"Nin, kita naik aja yuk." Tiba-tiba Jian duduk tegak. "I think I have to face it."

Nindy mengangguk. "Lo nggak usah jawab apa-apa kalo nggak mau. Gue yakin mereka ngerti."

Jian tersenyum dan ia kini menoleh sepenuhnya ke Nindy. "Sampe di waktu dimana gue desperate gini aja, yang gue cari pasti lo duluan, Nin."

Sepatah kata itu membekukan Nindy. Ia tak mengira Jian akan berkata seperti itu. Ada sedikit rasa senang yang tak terelakkan. Ia menjadi orang yang dipercaya Jian, itu membuatnya sedikit tersanjung. Tapi ia ingat semuanya masih terasa rumit. "Thanks udah inget gue, yuk naik." Ia membantu Jian berdiri dan berjalan perlahan ke arah rumah sakit, kembali ke ruang rawatnya.

***

Nindy

Kak Rey, aku ketemu Jian di bawah. Kita otw ke atas. Pls info ke Sharon jgn tanya keadaan Jian ya. Thanks

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang