Jian keluar dari ruangan Yohan, ayah Sharon yang cukup sering ia datangi. Kali ini ia meminta saran terkait paket yang dikirimkan Rjez padanya kemarin. Pria paruh baya itu membekalinya dengan sesuatu di tas jinjing hitam. Kali ini ia mantap untuk menghadapi orang itu. Yohan akan ikut serta mengawasinya dengan pelacak dan kamera tersembunyi.
"Kak Ji, udah selesai ngobrol sama Papa?" Sharon tiba-tiba keluar dari kamarnya.
Jian mengangguk. "Mau jalan-jalan?"
Tumben sekali Jian berinisiatif mengajaknya, biasanya harus ia yang memulai dan cowok itu yang menurutinya. "Serius? Kak Jian mau kemana? Aku ngikut aja mau kemana." Entah perasaan Sharon atau memang Jian terlihat lesu. "Kak Jian baik-baik aja?"
Jian menatap Sharon dan mengangguk. "Baik kok, yuk ke Star."
Sharon seketika melebarkan matanya. Ia senang akhirnya Jian mau ke sana lagi. "Sebentar, kasih aku lima menit buat siap-siap." Ia berlari ke kamarnya.
Jian duduk di sofa rumah itu. Star, tempat itu adalah makam ayah ibunya, juga Ibu Sharon. Di dekat makam itu ada restoran dengan view ke arah makam tersebut. Sudah lama ia tak ke sana, karena ia takut, ada rasa marah yang belum bisa ia redam. Rasa marah ke orang tuanya yang meninggalkannya di dunia ini sendirian. Namun kali ini ia akan mencoba berdamai, karena ia takut jika malam ini adalah waktu terakhirnya. Sebelum waktu itu tiba, ia ingin menuntaskan segala emosi yang masih mengganjal di hatinya.
"Yuk, Kak Ji." Sharon memecah lamunannya.
Jian berdiri dan sekilas mengamati pakaian Sharon. Serba hitam. Lalu menilik pakaiannya sendiri. Hanya kaos putih dan celana denim. "Gue perlu ganti baju?"
"No need, ini cukup. Aku tau kak Jian mau berdamai sama semuanya. Jadi I think this white one is a sign to welcome a peace."
Jawaban yang sederhana namun bermakna untuk Jian. "Yuk berangkat, mau pamit Papa dulu?"
"I told him kalo abis ngobrol sama Papa, aku bakal ngajak Kak Ji keluar."
Jian tersenyum. Sharon dan keluguannya. Gadis ini harusnya nggak terlibat dengannya. Dia berhak untuk dapat orang yang sepadan, menerima dan juga memberi perasaan yang sama sebesar yang Sharon kasih untuk dia. Ia sekali lagi menyesal.
"Kak Ji mikir apa? Yuk, aku nggak sabar ketemu mereka." Katanya lalu menarik tangan Jian yang akhirnya menurut saja.
***
Pagi-pagi sekali jam enam, Rean udah datengin kos Nindy yang masih tidur-tiduran.
"Ngapain sih, Kak Rey pake jogging segala. Masih bisa gerak sat set tanpa jogging pun."
Rean menggeleng melihat Nindy yang menggerutu sejak ia datang dan mengajaknya lari pagi, hingga cewek itu selesai ganti baju dengan outfit nyaman untuk olahraga. "Itu nggak bisa ganti celana training panjang aja hot pantsnya?"
Nindy mencebik sebal. "Komen mulu, males ah gue mau tidur lagi." Rean yang melihat itu jadi gemas sendiri. "Nggak nggak, yaudah ayo cantik jangan cemberut. Kita bakal ngadepin psikopat jadi kudu punya fisik yang juga fit."
Agak make sense tapi Nindy masih sebal. Karena ia berencana tidur sampai jam 10, setelah itu dia baru mikir rencana buat Jian nanti malem. Ia masih sangat mengantuk karena semalaman overthinking tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. "Ya udah ayo."
Rean sama Nindy cuma muterin kompleks aja. Dan sekarang Rean udah mau putaran ke dua, sedangkan Nindy udah tepar dan duduk di bangku taman dan melamun.
"Udah capek?" Rean menyeka keringatnya dengan handuk yang ia kantongi.
Nindy mengangguk. "Nih minum."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck on You
Fanfiction"Lo pasti udah pernah denger ini, balikan sama mantan tuh ibarat lo baca buku yang sama. Endingnya tetep sama. Nggak ada yang berubah sama alurnya." "Tapi gue nggak akan tau kalo nggak ngebuktiin sendiri." "Dengan balikan sama mantan lo? Kenapa sih...