"I have you here, after all things happen, isn't it?" Suara itu, suara favorit Jian.
"You always have me, Nin. Don't even doubt me."
Jian dari balik pintu kamarnya menghela nafas berat. Dia mendengar itu. Kamarnya persis di sebelah ruang tamu dimana ada Rean dan Nindy tadi. Dia tahu keputusannya yang tiba-tiba itu pasti membuat Nindy kaget dan mungkin kecewa. Tetapi kehadiran Rean yang terlihat kembali dekat dengan gadis itu lebih tiba-tiba, karena saat ia menanyai Rean soal gadis itu, ia bilang ia dan Nindy sudah lama tidak berhubungan.
"Yuk, lo pasti bosen nunggu gue. Udah mau malem, mau sekalian beli makan? Biar lo bisa minum obat terus istirahat." Suara Rean terdengar. Jian mencabut kunci pintunya agar mendengar suara orang di luar. "Pake jaket gue nih."
Tidak ada sahutan dari gadis itu. Kemudian disusul dengan suara kertas yang ditumpuk dan langkah kaki yang menuruni tangga.
"Sorry, Nin. Gue memang pengecut. Bener, lebih baik lo sama Bang Rey." Selepas mengatakannya ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. "Mom, Dad, If I should face shit like this, isn't it better kalo aku nyusul kalian?"
***
Nindy sampai di kosnya ketika Wina duduk di teras sendirian. Awalnya dia ragu, tapi kemudian Rean yang tersenyum meyakinkannya. "Kak Rey baliknya hati-hati. Makasih banyak."
Rean tersenyum. "Jelasin yang lo pengen jelasin ke Wina. Tapi kalo lo ngerasa belum siap, jangan Nin. Kalo lo nggak mau jelasin, gue bakal jelasin, if you don't mind."
Nindy menggeleng. "Nggak, Kak. Gue tau ini urusan gue sama Wina, even Jayden sama Alice juga. Makasih." Nindy ngerapiin rambut Rean yang agak berantakan ketika melepas helmnya.
His head feels warm. Rean seneng dia bisa ngerasain ini lagi. But he knows he can't. "Sana masuk. Ditunggu Wina tuh." Ketika Nindy mau ngelepas jaketnya, tangan Rean mencegahnya. "Dipake aja, dibalikin kapan-kapan, nggak usah dibalikin juga gapapa."
"Thanks again, gue masuk ya." Nindy membuka pagar lalu melambai sekilas pada Rean. Dia jalan ke teras rumah kosnya. "Hey Win, kok sendirian aja di sini."
"Nungguin lo, lo masih sakit kok nggak langsung balik sih."
Nindy mengangkat alisnya. "You're worrying me? Gue kira lo marah sama gue."
Wina berdiri lalu merangkul Nindy. "Gue memang butuh penjelasan lo, tapi gue nggak marah. Nggak ketika Rean treats you well."
Nindy mengangguk. "I'll tell you."
***
"Jadi apa?" Baru aja Nindy ngehabisin suapan terakhir makan malamnya dan minum obatnya, Wina udah nanyain.
Nindy memulainya dengan helaan nafas. "Ya nggak ada apa-apa. Karena Kak Rean jelasin waktu itu lagi sibuk sama padetnya praktikum dia sama organisasinya terus dia jadi sensi ke gue. Jadi ya gue berusaha ngerti sekarang dan dia bersikap lebih baik, so yeah why not."
Wina mendengar jawaban itu sambil mendengus. "Klasik, lo yakin cuma itu. Soal Jian?"
Nindy mengendikkan bahunya. "Dunno, lo denger kan dari anak-anak fakultas kalo Jian sekarang kemana-mana sama Sharon. Ya gue tau sebelum deket sama gue mereka juga udah deket banget. Tapi kali ini yang emang dia nggak mau sama gue lagi. So, what?"
Wina mendengus. "Lo ini nggak pemaaf ya anaknya, tapi kenapa bisa tiba-tiba nerima Rean? Terus enak banget tiba-tiba ngebiarin Jian pergi gitu aja?"
"I wouldn't hold people who want to go, Win. But If I hear the truth, mungkin gue bisa aja nerima dia lagi. But I think It's late, Jian udah sama Sharon lebih dari yang gue kira."
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck on You
Fanfiction"Lo pasti udah pernah denger ini, balikan sama mantan tuh ibarat lo baca buku yang sama. Endingnya tetep sama. Nggak ada yang berubah sama alurnya." "Tapi gue nggak akan tau kalo nggak ngebuktiin sendiri." "Dengan balikan sama mantan lo? Kenapa sih...