“Di balik senyumnya, ia memendam rasa sakit. Di balik kalimat ketusnya, ia menyamarkan tangis menyiksa. Dan di balik diamnya, ia enggan membagi kisah masa lalunya, pada siapapun.”
*****
Tiba di tempat tujuannya, gadis itu berlarian ke ruangan sang Mama. Tidak menghiraukan lelaki yang mengantarnya ke sini. Ma, Ayana datang, batinnya tak henti menggemakan nama wanita yang ia sayangi tersebut.
Bruk!
Tubuhnya terjatuh–akibat terburu-buru–namun tak lama ia bangkit kembali. Napasnya terdengar memburu. Tinggal sekali lagi belokan dan di sana. Seorang wanita–yang menjadi alasannya datang–berdiri dengan dua orang wanita berseragam putih yang kini mencengkram kedua lengan si wanita.
"Aaaa! Abang! Mama ikut! Abang nggak boleh tinggalin Mama sendirian! Abang!" jerit wanita itu berteriak sembari meronta-ronta, ingin melarikan diri.
Sementara dua perawat yang menahan lengan wanita itu hampir kewalahan. "Ayana!" sebut salah satu dari dua orang perawat tersebut.
Seolah kakinya menginjak lem, gadis yang dipanggil Ayana itu tak bergerak dari tempatnya berdiri. Tubuhnya terasa lemah tak bertenaga. Bibirnya mulai mengering, kesulitan bicara. Tangannya sedikit bergetar.
Wanita yang berteriak tadi memperhatikan Ayana lekat. Jika diingat-ingat, wajah sang gadis entah kenapa terasa familiar. Belum lagi, nama sang gadis yang mengingatkannya tentang seseorang.
"Nyonya, dia adalah Putri Anda, namanya Ayana," sahut wanita yang menghubungi Ayana, ketika Mamanya kambuh. "Dia selalu datang ke sini. Dia berkata agar Anda bisa cepat sembuh. Jadi, Putri Anda tidak akan kesepian lagi," jelasnya penuh pengertian.
"Ayana?" ujar Nada pelan. Iris matanya meneliti gadis yang tengah berdiri kaku beberapa meter dari tempatnya berdiri.
Ma, Aya minta maaf. Aya yang salah. Jangan nyiksa diri Mama kayak gini. Aya mohon, Ma, batin Ayana. Setitik kristal bening menunjukkan dirinya.
"Ayana?" sebut Nada mengulang.
Ayana membatin, Mama ingat sama Aya?
Perlahan kaki Nada mendekati Ayana yang berdiri terpaku. "Ayana?" Nada mengulang nama itu seakan takut melupakan nama putrinya. Sampai di hadapan Ayana, mata Nada memperhatikan wajah sang putri. "Kamu … Ayana?"
Kepala Ayana terangguk kecil, membenarkan. "Iya, Ma. Ini aku Aya." Suaranya terdengar bergetar walau hanya mengatakan kenyataan bahwa ia adalah anak kedua Nada. Putri yang lama tak Nada jumpai.
Ekspresi sedih di wajah Nada hilang mendengar pengakuan gadis SMA di depannya. Marah. Itulah ekspresi yang Nada perlihatkan. "Kamu! Gara-gara kamu Aga pergi! Semuanya karena kamu!" teriak Nada seraya menjambak rambut panjang Ayana.
"Akh!" ringis Ayana kesakitan, akibat jambakan sang Mama yang tiba-tiba.
Dua perawat yang melihat kejadian tersebut bergegas menghentikan aksi Nada. Mencoba melepas tarikan tangan Nada di rambut putrinya sendiri.
"Kalau bukan karena kamu! Aga nggak bakal pergi! Pembawa sial! Kamu pembunuh!" Kembali, Nada berteriak mengakibatkan perhatian banyak orang teralih.
Ayana hanya meringis kecil mendapat perlakuan dari Mamanya. Pasrah karena apa yang dikatakan Nada memang benar adanya. Kepergian Agra di sebabkan atas dirinya. Dialah, orang pertama dan satu-satunya yang harus di salahkan dari perginya Agra, putra sulung Nada.
Lelaki yang mengantar Ayana, berlari ke arah keributan itu. Tangannya menarik Ayana agar terjauh dari jangkauan Nada. Menjadikannya sebagai dinding pelindung sang gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK [COMPLETED]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung. Yang menariknya ke dalam perasaan bernamakan penyesalan. Entah sampai kapan dia harus terjebak bersama kenangan masa lalunya. Yang membawa...