[CHAPTER 53] Figuran Semata

82 63 19
                                    

“Pada akhirnya perannya tetap sama seperti dahulu kala. Menjadi seorang figuran semata. Hanya pemanis.”

*****

    "Kasihan banget lo! Harusnya lo tuh bersyukur punya teman! Udah untung ada yang mau jadi teman lo, tahu?!"

    "Ya udahlah. Itu, sih, urusan dia! Ngapain juga diperhatiin!"

    "Iya. Yang ada dia-nya kesenengan. Dia kan emang caper orangnya."

    Kalimat tajam itu diiringi tawa meledek segerombol perempuan yang berada tak jauh dari seorang gadis yang tengah di jadikan bahan perbincangan.

    "Punya mulut di sekolahin juga! Jangan bisanya cuma main sindir orang mulu!"

    Bukan. Suara itu bukan berasal dari gerombolan tadi melainkan seseorang yang belakangan ini menemani si gadis dari caci maki mereka.

    "Orang kayak dia, lo belain? Kurang kerjaan, kali, lo."

    "Makin gak tahu malu dia nanti!"

    "Lagian udah seharusnya dia di gituin, biar tahu diri!"

    "Bener, tuh! Lo yakin nggak di apa-apain tuh cewek?"

    "Nggak usah bicara apapun kalau lo semua nggak tahu apa-apa," balas Ayana. Dia paling tidak suka bila ada orang yang sok menghakimi teman-temannya, utamanya Lily.

    Belum sempat mengeluarkan protesan, Ayana bergerak menarik Lily menjauh. Sudah cukup, dia malas mendengar ungkapan-ungkapan ketidak sukaan mereka terhadap kedekatannya bersama Lily. Hampir setiap hari mereka mewanti-wanti dirinya yang kembali mengikis dinding pembatas antar keduanya.

    Lily menyentak lengannya lepas dari genggaman tangan si penarik. "Gue gak butuh bantuan lo!" tukasnya.

    Ayana diam. Dia tahu, Lily tidak akan pernah menyukai sikapnya yang satu itu, menolong ia yang tak sekalipun meminta. "Ly, gue—"

    "Sekali lagi gue tegasin sama lo! Gue gak butuh dan gak akan pernah minta bantuan lo, Ayana!" paparnya lantang.

    "Aku harus pergi, Ly," ujar Ayana lirih.

    Sedetik kemudian langkah Lily otomatis terhenti. Entah mengapa kakinya enggan beranjak dari sana.

    Ayana berderap berhenti tepat di hadapan Lily. "Bukan. Tepatnya, udah seharusnya aku pergi dari dulu."

    Senyum manis Ayana terbit. "Jadi—" Tangannya tergerak meraih kedua lengan Lily, menggenggamnya cukup erat seolah takut kahilangan. "Kamu harus kuat, Ily. Aku yakin kamu pasti bisa lewatin ini semua, meskipun tanpa aku."

    Beberapa detik berselang terisi kesunyian. "Seperti yang kita janjikan, aku bakal pergi kalau ada yang terluka. Dan benar, kehadiran aku bikin kamu terluka, kan? Jadi, mau gak mau, aku harus pergi biar kamu gak terluka lagi," lanjut Ayana.

    Lily membisu. Ekor matanya melirik tautan tangan mereka dalam diam.

    "Ily," sebut Ayana pelan.

    Dipanggil sang pemilik nama mengangkat pandangan membuat atensi keduanya berada di titik yang sama sekarang. Entah bagaimana dia bisa merasakan senyum tulus Ayana bukanlah semata-mata untuk formalitas. Sosok itu sungguh tersenyum dari lubuk hati yang terdalam.

    "Bicarain baik-baik sama mereka, ya. Aku tahu mereka juga gak bermaksud buat kamu ngerasa sendirian. Mereka pengen yang terbaik buat kamu, tapi caranya aja yang salah," tutur Ayana lembut.

FLASHBACK [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang