[CHAPTER 11] Rabu Malam yang Dingin

259 251 89
                                    

“Angin malam memang dingin. Namun, malam ini dinginnya terasa berbeda. Sama seperti sikapnya yang juga dingin pada seorang gadis yang berusaha mendapatkan perhatiannya.”

*****

    Gadis ber-dress biru muda dengan tinggi selutut itu tampak tengah menunggu kedatangan seseorang. Kakinya bergerak gelisah. Bibirnya melukis senyuman yang tersirat kebahagiaan penuh. Berulang kali matanya memperhatikan pintu Cafe. Hingga pintu tersebut terbuka, menampakkan sosok lelaki berjaket abu-abu dengan kaus polos putihnya, orang yang ditunggunya akhirnya tiba.

    Senyum si gadis mengembang makin lebar tatkala lelaki itu berjalan ke tempatnya.

    "Udah lama?"

    Cepat kepala si gadis menggeleng. "Nggak. Baru tadi," jawabnya tidak melepas senyum juga tatapan kagumnya terhadap sosok di depannya.

    Setelah mendapat pesan singkat dari Adam, Lily segera bersiap-siap ke tempat yang disebutkan. Meskipun, isi pesannya singkat, padat, dan jelas–seperti perintah dalam mengisi soal essay–Lily tetap merasakan kupu-kupu beterbangan di perut. Juga, ia datang lebih awal dari yang di janjikan. Baginya, tak masalah jika ia harus menunggu lebih lama dari ini, asalkan lelaki di depannya akan datang padanya. Dan bukan pada gadis lain.

    Lelaki itu manggut-manggut mengerti.

    "Emm, Dam," sebutnya.

    Adam, lelaki yang mengajak Lily bertemu menoleh.

    "Tumben, lo ngajak ketemuan. Maksud gue, kan, biasanya gue duluan yang ajak," cerita Lily.

    "Ada yang pengen gue omongin," balas Adam terdengar datar.

    Senyum Lily makin menjadi mendengar maksud Adam yang ingin menemuinya di malam hari seperti ini. "Oh, ya? Soal apa?" tanyanya antusias.

    "Leon."

    Lily bergeming sesaat. Dia menelan ludah pahit. Merasa sudah besar kepala. "Leon?" ulangnya dengan nada bertanya.

    "Kabarnya gimana?"

    Lily menetralkan suaranya. "Baik. Malahan dia udah balik kayak dulu lagi." Gadis itu menampilkan senyum manis, terpaksa, tentu saja. "Lo tahu sendiri, kan, dia orangnya gimana? Sifatnya itu, loh. Bikin kepala gue mumet tiap hari," cerocos Lily bercerita.

    "Karena sifatnya itu, jadi gue lebih milih sama lo. Lo jangan besar kepala dulu, ya!" seru Lily tersenyum menggoda.

    Namun, usaha Lily sia-sia saja. Adam bukanlah tipe orang yang besar kepala—seperti yang dikatakannya. Dan, ya, Lily sangat hafal bagaimana sikap Adam terhadap orang lain. Adam yang dingin, datar, dan irit bicara. Dan hanya satu orang–yang bukan anggota keluarganya–tepatnya, seorang gadis yang merupakan teman sebangku Tiara, bernama Ayana. Si Matahari Ceroboh yang berhasil mencairkan si Batu Es Berjalan.

    "Maksud gue itu, gue lebih suka cowok romantis daripada cowok humoris."

    Adam menautkan kening. "Lo pikir gue cowok romantis?"

    Lily tersenyum. "Emm, ya, kurang lebih gitu. But, terlepas dari sikap lo ke gue yang masa bodoh, gue yakin kalau lo contoh cowok romantis."

    "Kenapa?"

    "Gak ada alasan khusus. Cuma setiap gue lihat lo sama—" Lily tidak melanjutkan ucapannya yang tertahan di ujung lidah, cewek pembawa sial itu, lo jadi cowok care dan protective, Dam. Gue juga pengen di posisi yang bisa lo kasih perhatian. Tapi meskipun itu mustahil. Gue nggak akan berhenti buat dapatin perhatian lo, Adam Dhiafakri Pradipta.

FLASHBACK [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang