"Dia pergi bukan karena ia ingin. Akan tetapi Tuhan tahu apa yang terbaik. Dan Tuhan juga lah yang menentukan hidup matinya setiap orang."
*****
Waktu berlalu cepat. Genap sudah satu minggu semenjak keputusan final tentang Empat Janji dan kata "hati-hati" bernada peringatan dari Lily. Entah Ayana beruntung atau tidak, selama satu minggu ini tidak ada apapun yang terjadi di sekitarnya. Semua baik-baik saja. Pun dengan hubungannya dengan Devia yang mulai membaik.
"Hey, ngelamun lagi," sahut Tiara menegur. "Kenapa? Dia ngapain lo?"
Mengerti siapa yang di maksud, Ayana menggeleng. "Nggak ada, Ra."
"Pagi," sapa suara seorang lelaki. Mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Ayana. Tak urung senyum ramahnya ia ukir.
Ayana balas tersenyum. "Pagi juga, Dri."
Setelah pembicaraan mereka, hubungan keduanya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Cukup banyak perubahan di diri Ayana yang biasanya membalas ketus. Maka dari itu, Andri enggan kehilangan kesempatannya untuk segera mendapatkan hati Ayana. Menghancurkan dinding pembatas bernamakan pertemanan di antara mereka. Membangun sebuah hubungan yang Tiara semoga tiap hari.
Tiara berdeham pura-pura meredakan batuknya. Senyum jahilnya muncul. Paham apa yang harus dilakukan, Tiara berpamitan. Matanya membulat menemukan seorang lelaki dari anak kelas sebelah kembali berkunjung ke kelasnya. Menarik lengan seragam si korban secepat kilat.
"Udah makan?" tanya Andri berbasa-basi. Oh, come on Andri. Pertanyaan macam apa itu? dengusnya dalam hati.
"Udah," balas Ayana. Tatapannya masih terarah di buku di hadapannya.
Andri manggut-manggut. "Pulang sekolah lo ada waktu nggak?"
"Pulang sekolah? Hari ini?" Ayana terdiam mengira-ngira. "Emm ... hari ini gue nggak ada jadwal apapun."
Andri bersorak riang dalam hati. "Kalau gitu lo mau nggak ikut gue?"
"Ke mana?" Ayana mendongak, menatap Andri dengan kening tertaut.
"Lo bisa atau nggak?" tanya Andri tak mengindahkan pertanyaan Ayana.
"Ke mana dulu, Dri?"
"Bisa atau nggak?" tanya Andri enggan mengatakan tujuan mereka.
Ayana mengembuskan napas lelah. "Bisa," jawabnya mengalah. Tak apalah ia mengalah, toh jika Andri macam-macam ia tinggal memukul Andri habis-habisan.
Senyum Andri terukir lebar. "Oke, jangan sampai berubah pikiran, ya Ayana?" peringat Andri.
Ayana mengangguk pelan. "Iya, Andri."
Bagus. Rencana mengajak Ayana berhasil. Sekarang harapannya acara mereka sepulang sekolah nanti berjalan lancar. Tanpa ada siapapun yang mengganggu. Termasuk dua lawannya. Adam dan Leon.
*****
Mata gadis berwajah manis itu berbinar kala menemukan makanan manis kesukaannya. Menarik kecil lengan anak laki-laki di sebelahnya. "Abang, Aya pengen itu."
Agra mengikuti arah tunjuk sang adik. Permen kapas. Kesukaan anak kecil yang telah menduduki kursi SMP. Sang kakak mendesah. "Aya, kamu udah gede."
Ayana mengerucutkan bibir tak suka. "Kata siapa? Aya masih kecil kok! Selama Bang Aga ada, Aya nggak bakal cepat gede," jelas Ayana asal.
Agra tergelak kecil terhibur. "Ya udah, kamu tunggu di sini. Awas kalau kabur! Abang nggak mau beliin permen kapas lagi!"
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK [COMPLETED]
Подростковая литература[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung. Yang menariknya ke dalam perasaan bernamakan penyesalan. Entah sampai kapan dia harus terjebak bersama kenangan masa lalunya. Yang membawa...