“Salahnya karena enggan mendengar pembelaannya. Maka biarlah ia melakukan apa yang seharusnya ia lakukan saat ini. Sebuah permintaan maaf.”
*****
Gadis itu berdeham kecil. Mengalihkan rasa canggung di antara dirinya dengan orang di hadapannya, yang memandangnya penuh tanya. "Maaf," lirihnya pelan.
Kening Ayana mengerut. "Lo minta maaf buat apa, Ra?"
"Maaf karena sikap gue ke lo selama beberapa hari ke belakang," ujar Tiara menunduk dalam.
Ayana bergeming. Tersenyum kecil. "Ra, lo nggak perlu minta maaf. Kayak yang lo bilang, gue emang pem—"
"Maaf, Ay. Gue salah nilai lo. Lo nggak seburuk yang gue bilang," sela Tiara memotong. Kepalanya makin tertunduk dalam. Menyesali perbuatannya yang menolak keras pembelaan Ayana. Karena pasalnya sepasang telinga diciptakan untuk tidak mendengar dari satu pihak, tetapi kedua pihak.
"Siapa yang bilang?" tanya Ayana. Tidak mungkin Tiara tahu tanpa ada yang memberitahunya, bukan?
Sekarang giliran Tiara yang mematung. "Cowok gitar." Dia mengangkat pandangan. "Ay, gue minta maaf. Dia jelasin semuanya ke gue. Tentang masa lalu lo yang sebenarnya. Siapa teman-teman lo dulu. Dan …."
"Dan apa?"
"Dan … siapa yang bikin lo ngalamin itu semua," lanjut Tiara. "Sekarang gue sadar kenapa lo nggak pernah bicara to the point tentang teman-teman lo. Itu karena lo gak pengen gue berubah, kan?" tukas Tiara.
"Ayana, gue janji gak akan berubah. Gue gak akan ninggalin lo, kayak mereka. Lo bukan pembawa sial. Mereka gak tahu apapun tentang lo, Ayana. Satu yang perlu lo ingat, Ay. Karena sekarang nggak ada lagi Ira, si Matahari Ceroboh. Yang ada hanya Ayana, si Ratu Ceroboh," kata Tiara panjang lebar. Mencoba meyakinkan Ayana yang tidak ia sangka menyimpan luka tak berdarah menumpuk dalam hatinya.
Ayana menatap Tiara tepat di matanya. Melihat betapa kerasnya Tiara meruntuhkan pemikirannya. Pembawa sial. Julukan yang kini tersebar luas kembali, setelah sekian lama terkubur waktu.
"Tapi, Ay, kenapa panggilannya berubah?" tanya Tiara antusias. "Kan, lucu kita bisa samaan. Tiara. Ira. Sama-sama, Ra," tuturnya terkekeh pelan. Membayangkan orang lain memanggil nama mereka.
"Karena sekarang nggak ada lagi Ira, si Matahari Ceroboh. Yang ada hanya Ayana, si Ratu Ceroboh," balas Ayana sambil menyisipkan senyum.
Tiara berniat membuka mulut bertanya maksud dari ucapan Ayana. Namun entah mengapa, suaranya enggan keluar. Seolah tahu Ayana tidak akan menjelaskan lebih lanjut.
Dan kini Tiara paham maksudnya. Ayana mencoba meyakinkan diri untuk melupakan identitasnya yang dulu. Ayana yang menerima suka rela julukannya. Ayana si pembela temannya kala diperlakukan tidak adil. Ayana yang tak pernah lepas dari para pelindungnya.
"Gue juga tahu kalau lo bukan orangnya. Bukan lo yang nyuruh Wildan balas sticky notes gue. Tapi itu emang keinginan Wildan sendiri," jelas Tiara.
"Dia ngaku?"
Tiara mengangguk-anggukkan kepala. "Gue udah konfirmasi langsung ke orangnya, dan ya, dia ngaku kalau dia yang balas sticky notes plus pesan gue. Dia nyesel udah bohongin gue."
Ayana manggut-manggut paham. Baguslah, jika pria itu telah mengatakan yang sebenarnya pada Tiara.
"Gue juga pengen jujur sama lo," ungkap Tiara. Hatinya dag-dig-dug menunggu kalimatnya sendiri. Takut Ayana tidak memaafkannya. "Sebenarnya gue yang ngunci lo di toilet. Waktu itu gue marah karena lo sembunyiin semuanya dari gue. Tapi gue malah sok gak tahu apa-apa terus—"
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK [COMPLETED]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung. Yang menariknya ke dalam perasaan bernamakan penyesalan. Entah sampai kapan dia harus terjebak bersama kenangan masa lalunya. Yang membawa...