EPILOG

171 65 35
                                    

“Lembaran baru. Kenangan baru. Juga kisah baru. Di mulai saat ini.”

*****

    "Code blue! Code blue!"

    Teriakan itu membuat seluruh penghuni rumah kelabakan. Saling melihat sekeliling yang belum tersusun rapi. Masih butuh waktu lebih lama.

    "APA?! Nggak bisa ditunda dulu kenapa?" jerit si gadis kencang. Balon di lengannya mengempis, sebab di biarkan begitu saja. Dia mendengus sebal karenanya. Kembali ke kegiatannya meniup balon.

    "Iya! Masih acak-acakan, nih!" seru gadis lain, menyerukan keluhannya setelah selesai mengaitkan bagian ujung balon, agar udara di dalamnya tak keluar.

    "Mau gimana lagi? Orangnya bentar lagi juga sampai," ujar lelaki lain.

    "Ya, tahan dulu, lah. Tanggung, nih!" Gadis lainnya ikut menimpali. Diikuti anggukan seluruh kaum hawa di sana.

    "Caranya?"

    "Ya, gimana, kek. Pikirin bukan balik nanya!"

    "Kan, gue cuma nanya, Ra," kata Wildan membela diri.

    Tiara menengok lawannya cepat. "Punya otak tuh pakai bukan di jadiin pajangan doang."

    "Udah! Kalau gini kapan selesainya?" lerai pemuda yang menyuarakan kode biru tadi.

    "Heh! Lo juga! Ngapain diam aja? Bukannya bantuin malah anteng main handphone! Kerja!" selak gadis yang bertugas menangani kue. Lengannya yang memegang pisau panjang–untuk meratakan adonan cream–terarah pada si lelaki.

    Leon menenguk ludah takut. Dia melupakan satu hal. Thania amat membencinya! Berbanding terbalik dengan saudara kembarnya yang menuding-nudingnya operasi plastik, hanya karena mirip bias-nya di salah satu idol k-pop kesukaannya.

    "Kak, udah ih. Kasihan tahu! Aku gak tega lihat wajah suami masa depan aku di gituin," sahut Thalia. Tuh, kan mode tukang mirip-miripinnya kumat.

    "Tuh, dengar kan lo, Thor? Kerja!"

    Novan melirik Wildan sinis. Perasaan dia adem ayem tidak mengganggu ataupun ikut protes, seperti yang lain. "Diam lo! Gue bikin lo masuk rumah sakit, tahu rasa!" Novan mengangkat benda tajam di tangan. Tengah sibuk memotong buah-buahan, yang nantinya akan di jadikan hiasan di atas kue.

    Wildan bergidik ngeri. Menggenggam kecil ujung kemeja lelaki di sebelahnya, bermaksud meminta perlindungan.

    "Berani pegang-pegang, gue jatuhin lo!" ancam si lelaki pedas. Bersiap melepas pegangan di kursi.

    Segera Wildan bungkam. Takut jika hal itu benar dilakukan Bagas. Yang ada dia ditertawakan di depan sang gebetan.

    "Butuh waktu berapa lama?"

    Mereka mengangkat pandangan. Kompak mengerutkan kening bingung.

    "Sekitar dua puluh menitan juga cukup," balas seorang gadis paham maksud pertanyaan sang kakak kelas.

    Dia mengangguk. "Oke, gue ulur waktu dua puluh menit. Kalau ini gagal itu salah kalian," tegasnya kemudian berlalu keluar.

    Setelah mendengar nada ancaman si lelaki dingin itu, mereka lantas bergegas. Bahkan Leon yang awalnya hanya memantau teman-temannya bekerja secepat kilat turun tangan—lantaran tugasnya paling mudah, menerima sinyal.

*****

    Ayana terkesiap melihat seorang lelaki baru saja keluar dari rumahnya. "Kamu ngapain di sini?" tanyanya sangsi.

FLASHBACK [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang