“Mati satu tumbuh seribu. Sekiranya pepatah itulah yang menggambarkan bagaimana masalah yang sekarang menimpanya silih berganti.”
*****
"Tiara!"
Tersadar, Tiara lantas menoleh. "Kenapa?"
"Lo yang kenapa. Dari tadi senyum-senyum sendiri," tutur Ayana. Sedari tadi memandangi senyum Tiara yang tak luntur barang sedetik.
Mendengarnya Tiara cengengesan. "Sorry, Ay. Tadi gue—" Mengingat lamunannya barusan, senyum Tiara timbul menghiasi wajah cantiknya.
"Tadi lo apaan?"
"Rahasia," jawab Tiara menyungging senyum.
Ayana mengernyit sesaat. Kemudian mengangguk-angguk paham ke mana arah pembicaraan mereka. "Pasti karena doi lo itu, kan?" tembak Ayana. Kegiatan menulisnya ia lanjutkan dengan suka cita.
Tiara menggeleng tanda bahwa Ayana salah. "Bukan, tuh. Lebih tepatnya doi baru," ralat Tiara memperbaiki tebakan Ayana.
Ayana makin mengernyit heran. "Doi baru?" ulangnya takut indra pendengarnya salah.
"Iya, doi baru," ujar Tiara membenarkan seraya mengangguk mantap.
"Lo …." Ayana terdiam. "Ra, kalau itu karena gue yang—"
"Bukan karena lo, Ayana," sela Tiara cepat. Mencegah pemikiran buruk sang teman sebangku. "Gue pengen lepasin dia bukan karena hubungan lo sama dia, tapi karena si doi baru yang berhasil narik perhatian gue." Tiara terkekeh pelan. "Oke, rasanya gue udah kayak player nggak punya perasaan. Nggak dapat yang satu, malah nyari yang lain."
"Tapi kenapa?"
"Nggak kenapa-napa, sih. Lagian dari awal impian gue terlalu tinggi. Ngejar dia yang jelas-jelas gak bisa gue miliki bahkan gue sentuh pun susahnya minta ampun," cerita Tiara agak sendu. Namun tak lama senyum bahagia itu kembali bersinar terang. "Maka dari itu, gue turunin impian gue yang standarnya ketinggian. Dan ya … gitu deh, gue mulai tertarik sama cowok lain, selain si doi dan bias gue di Korea, tentunya."
"Jadi, lo jangan ngerasa bersalah atau apapun itu, oke? Karena mulai hari ini, detik ini juga, untuk pertama kalinya seorang Tiara Vallencia belajar lepasin si doi tanpa ada kata penyesalan di kemudian hari," lanjut Tiara. Matanya menatap Ayana intens. "Dan gue bakal senang kalau cewek yang akan di sisi dia adalah lo, Ayana Reveira Iskandar."
"Gue?"
"Iya, lah lo. Masa iya, si Bunga Sadis? Gue relanya dia cuma sama lo, nggak yang lain," tegas Tiara. Ayana hendak menyela, memperingati tentang panggilannya terhadap Lily. Namum Tiara melanjutkan, "Oh dan soal Andri. Gue di pihak dia juga, kok. Kan, bisa fifty-fifty gitu."
Ayana membuang napas panjang. Lengannya merogoh ponsel canggih di saku rok abunya. Bergeming menatap layar ponsel yang menampakkan sebuah pesan. Tanpa Ayana sadari, Tiara mengamati baik-baik mimik mukanya. Dia mengangkat pandangan. "Btw, siapa cowok yang lo maksud?"
"Ada, deh. Untuk saat ini gue belum bisa sebutin siapa dia, tapi dia cowok baik-baik, kok nggak neko-neko," papar Tiara meyakinkan.
Ayana manggut-manggut. Tak apa, asalkan Tiara bahagia dengan pilihannya, Ayana akan mendukungnya.
"Ra?"
Mereka menoleh bersamaan dengan reaksi berbeda. Tiara menyembunyikan senyum kecil–yang tampak percuma saja ditutupi–melihat kehadirannya. Sementara Ayana langsung mengalihkan pandang, enggan menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK [COMPLETED]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung. Yang menariknya ke dalam perasaan bernamakan penyesalan. Entah sampai kapan dia harus terjebak bersama kenangan masa lalunya. Yang membawa...