"Makin lama terikat dengannya, makin membuat sosok itu mengucap kata maaf berulang kali dalam hati."
*****
"Pagi, Ayana Reveira," sapa Tiara sambil memajang senyum cerahnya, sama seperti hari-hari biasanya.
"Pagi, Ra," balas Ayana menyapa.
"Eh, Ay, gue punya sesuatu buat lo," ujar Tiara bersemangat.
"Sesuatu apaan? Lo mau nyogok gue, nih, ceritanya? Dalam rangka apa lo-"
"Ish! Ayana! Gue nggak punya niat apa-apa juga. Waktu itu bilangnya jangan suka nethink sama orang lain. Eh, ini, dia sendiri?" Tangannya meraih benda yang di maksud lalu menyodorkannya di hadapan teman sebangkunya itu.
"Loh, kenapa handphone gue ada di lo?" heran Ayana. Pasalnya, kemarin dia baru menyadari jikalau benda canggih tersebut hilang. Benar-benar lenyap hingga kini ia dapat melihatnya lagi. Sekarang di hadapannya.
Senyum Tiara mengembang. "Iya lah, orang kemarin lo buru-buru banget. Tadinya mau gue susul, tapi berhubung gue ada urusan "kecil-kecilan" dadakan itu, ya nggak sempet, deh," jelas Tiara bercerita secara singkat.
Kerutan di dahi Ayana bertumpuk. Emosinya sedikit naik mendengar pernyataan Tiara. "Mereka-"
Tiara menggeleng. "Gue yang mulai. Bukan mereka," potong Tiara. "Oke, gue cerita soal kemarin. Tapi, nggak sekarang," sahut Tiara mengerti arti tatapan mengintimidasi Ayana.
"Pulang sekolah. Nggak ada lagi yang "katanya" janji penting," kata Ayana.
Embusan napas lega Tiara keluar. Syukurlah, Ayana setuju. Jika tidak, ia tidak dapat menjamin suasana kelas akan baik-baik saja sedetik setelah Anjani menginjakkan kaki di kelas.
Hening. Ayana sibuk mengerjakan soal-soal Matematika-nya, belajar dari materi yang telah ia pelajari di rumah. "Ra," sebut Ayana memanggil.
"Iya?"
"Emm, sticky notes itu, lo masih suka balas pesan dari dia?" Satu detik sesudah mengutarakannya, Ayana membatin, mengutuk mulutnya yang mulai tak terkendali. Ayana, kalau Tiara curiga yang nggak-nggak gimana? Lo sanggup apa?
"Oh, itu, kirain apaan. Iya, masih. Kenapa? Lo mau titip salam buat Novan?" goda Tiara. Alisnya di naik-turunkan, sengaja.
"Apanya yang titip salam, Ra? Orang gue sama dia nggak ada apa-apa, kok," bantah Ayana.
"Oh, gitu. Masa sih?" Lagi. Tiara belum puas menggoda teman sebangkunya itu. "Padahal, dia terus kirim pesan ke lo. Dan lo gak pernah sekali pun balas pesan dia? Segitu kejamnya, lo, Ayana," ucap Tiara melebih-lebihkan.
Pesan? batin Ayana mengulang kata yang terlontar di bibir Tiara, secret admirer si doi. "Maksud lo apa, Ra?"
"Itu, loh, gue lihat pesan dari orang yang nggak sekontak sama lo. Terus gue lihat, dan lo, selaku penerima pesan, sekalipun bahkan gak lo balas. Mau maju gimana lo? Oh, iya, gue lupa. Hati lo hampir ke isi sama si Mantan Ketua, ya, kan?"
Lagi-lagi, Ayana memutar bola mata malas meladeni godaan Tiara. Yang sangat mendukung hubungannya dengan Andri bukanlah sekadar teman biasa, ingin lebih dan bebas dari dinding tak kasat mata berlandaskan "pertemanan".
"Ke mana?" Spontan Tiara bertanya kala Ayana bangkit berdiri. Kemudian berjalan santai berniat mengabaikan Tiara yang tak berhenti mengoceh.
"Keluar. Di sini panas, gerah gue," ketus Ayana melangkahkan kakinya. Berjalan memimpin di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK [COMPLETED]
Dla nastolatków[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung. Yang menariknya ke dalam perasaan bernamakan penyesalan. Entah sampai kapan dia harus terjebak bersama kenangan masa lalunya. Yang membawa...