“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Di saat kita merasakan perasaan menyesal. Di saat itulah kita ingin memutar kembali waktu yang telah lalu.”
*****
"Kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana," ujarnya.Tangan si gadis mencegah dia untuk tak pergi. Kepalanya menggeleng cepat. Wajahnya menyiratkan rasa khawatir yang begitu kentara.
Kedua tangannya memegang bahu si gadis. "Nggak apa-apa. Aku cuma mau ambil gantungannya," jelas si anak lelaki meyakinkan.
Lagi. Si gadis mencegah. Cengkramannya lebih kuat dari sebelumnya. "Nggak usah," cicitnya pelan.
Senyumnya terbit. "Kan, udah aku bilang sebelumnya, kalau kamu harus jaga baik-baik barang dari aku," tuturnya lembut.
"Maaf, aku gak tahu kalau gantungannya lepas. Tapi, jangan. Jangan ke sana," cegahnya berkeras kepala.
"Gak apa-apa. Tunggu di sini. Biar aku yang ambil," ucapnya lalu melangkahkan kakinya ke tengah jalan, setelah menengok ke kanan dan kirinya. Tangannya bergerak mengambil barang yang di maksud. Dia mengangkat barang itu, memperlihatkannya kepada orang yang berdiri di halte bus.
"Cepetan ke sini!" Si gadis berseru kencang.
"Iya, iya," balasnya sembari menganggukkan kepala berulang kali.
Ketika kakinya hendak melangkah, dia menengok ke arah kanannya, yang menyorotinya cahaya terang bergerak cepat ke tempatnya berdiri. Cahayanya makin mendekat hingga .....
Terdengar suara mobil yang menabrak sesuatu.
Mata gadis itu terbuka sempurna dengan napas memburu. Keringat bercucuran di wajah cantiknya. Di tegakkannya badan, duduk di pinggir tempat tidur.
Mimpi itu lagi, batinnya mendesah panjang.
Dia melirik jam beker di atas nakas. Pukul 11.30 PM.
Kini matanya beralih ke benda di samping jam, sebuah bingkai foto. Senyumnya terukir lemas. "Maaf," lirihnya pelan.
Dia berdiri dari duduknya. Melangkahkan kaki ke lantai bawah. Berniat membasahi kerongkongannya yang terasa kering. Namun sesampainya di lantai bawah, keningnya tertaut kala matanya menemukan seorang pria paruh baya tengah sibuk mengerjakan tugas kantornya.
"Om, kenapa belum tidur?" tanyanya sopan.
Pria yang dipanggil Om tersebut menoleh. "Ayana? Biasa tugas kantoran yang minta dibereskan," jawab Dhanu tersenyum ramah. "Kamu sendiri, kenapa belum tidur jam segini?"
Ayana bergeming sesaat. "Emm itu—"
"Biar Om tebak. Kamu dapat nightmare, kan?"
Ayana tersenyum tipis. Tidak mengiakan juga tidak membantah. "Om mau makan atau minum, mungkin?" tawarnya.
"Air putih saja."
Ayana mengangguk. Dia menuju dapur menyiapkan air dan beberapa camilan. "Ini Om airnya." Ia menaruh nampan di atas meja. Bersatu dengan tumpukan kertas-kertas penting milik Dhanu.
"Terima kasih, Ayana."
"Sama-sama, Om." Ayana memperhatikan Dhanu yang serius mengerjakan tugas kantor.
"Kenapa? Ada yang mau kamu tanyakan?" Dhanu berujar melirik sekilas Ayana, gadis yang telah ia anggap anaknya sendiri.
"Om dulu pernah bilang, kalau Om dekat sama Papa," ucap Ayana memulai dengan suara cukup pelan.
Jari Dhanu yang awalnya bergerak lincah di atas keyboard laptop kini berhenti seketika. Dhanu menolehkan kepala memperhatikan Ayana.
"Papa itu orangnya gimana?" tanya gadis itu, lagi.
Dhanu terdiam sesaat. "Kenapa tanya ke Om? Kan kamu tahu sendiri Papa kamu itu kayak gimana orangnya."
Ayana tersenyum kikuk. "Ya, aku cuma pengen tahu aja pendapat Om tentang Papa."
"Kalau menurut kamu gimana?"
"Papa itu orangnya pekerja keras, buktinya Papa sering pulang larut sampai Mama tidur di sofa. Terus, Papa juga pintar. Mama bilang Papa sering juara di kelas. Yang paling aku ingat, Papa suka dikejar banyak anak perempuan di sekolahnya waktu SMA," cerita Ayana tanpa menghapus senyum manis di bibir.
"Oh, ya? Siapa bilang Papa kamu banyak dikejar perempuan satu sekolahan?" Dhanu tersenyum, ia tidak menyangka gadis itu mengingat semua hal yang berkaitan dengan sang Papa. Temannya itu tidak seharusnya meninggalkan Ayana sendirian di dunia sebesar ini.
"Mama yang bilang. Hampir setiap hari Mama cerita semua hal tentang Papa ke aku," jawab Ayana tersenyum cerah.
"Ayana, kamu lagi apa di sini jam segini pula?" Suara itu berasal dari arah belakang. Kedua tangan wanita itu disimpan di pinggang.
Yang disebut namanya tersenyum tak bersalah. "Eh, Tante Fira. Aku ngebangunin Tante, ya?"
Fira yang merupakan Tante Ayana menyahut, "Udah dulu cerita-ceritanya, nanti di sambung lagi. Sekarang tidur, kan kamu harus sekolah."
Tanpa banyak berkata-kata lagi Ayana berlari kecil ke kamar, setelah sebelumnya berpamitan terlebih dahulu. Tiba di kamar, Ayana bukannya menuruti perkataan Fira. Gadis itu justru menatap lekat-lekat bingkai yang dilihatnya tadi.
Helaan napas kembali keluar dari bibirnya. "Maaf, aku harusnya gak biarin kamu pergi." Di hatinya, ia mengutuk kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Kesalahan yang tidak seharusnya terjadi. Kesalahan yang membuat hubungan mereka makin rumit.
Ayana membaringkan tubuhnya lantas segera tidur, lebih tepatnya berusaha tertidur lelap tanpa dihantui mimpi yang terus memenuhi isi pikirannya. Hingga rasa penyesalannya membesar tiap kali waktu bergulir.
*
*
*
*
*
TO BE CONTINUED
NOTES
Hello, yeoreobun~
Finally, aku come back *baksu~
Ada, kah yg kangen? Nggak ada, ya? 🥺
Di story kali ini, aku bakal ngenalin kalian sama seseorang yang gamon dari masa lalunya. Sama kayak kamu yang lagi baca ini, kan? Wkwkwk 🤣 *peace ✌🏻
Penasaran siapa, kah, dia? Tetep stay with me, ya~ 🤗Salam Kenal,
Indri
KAMU SEDANG MEMBACA
FLASHBACK [COMPLETED]
Jugendliteratur[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bertemu dengan si pembawa hadiah menuntunnya masuk kembali ke lingkaran tak berujung. Yang menariknya ke dalam perasaan bernamakan penyesalan. Entah sampai kapan dia harus terjebak bersama kenangan masa lalunya. Yang membawa...