[CHAPTER 24] Luka

132 114 55
                                    

“Mereka tak tahu apa saja yang telah ia lalui untuk menjadi seperti sekarang. Karena umumnya mereka hanya bisa menilai tanpa merasakan.”

*****

    Siswi perempuan itu menengadah. Gadis yang notabenenya Ketua club Jurnalistik itu menatap Ayana.

    "Kamu nggak apa-apa?" Ayana membantu Devia berdiri.

    Devia mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk dalam.

    Helaan napas kasar Ayana keluarkan. Tidak menyangka orang yang membenci Devia akan melakukan hal seperti ini. Jarinya bergerak lincah di layar ponsel.

    "Ay, lo dimana? Jangan bilang lo lagi di kelas! Gue—"

    "Ra, tolong bawain tas gue," sahut Ayana memotong ucapan Tiara yang cepat layaknya kereta express.

    "Huh? Lo minta apa?"

    "Bawain tas gue ke toilet! Sekarang!" titah Ayana tegas.

    "Buat apa? Ayana, lo nggak—"

    "Tiara Vallencia! Bawain tas gue sekarang!" Sekali lagi Ayana berseru tegas. Lalu menutup sambungan telepon secara sepihak. Jika tidak begitu mana mau siswi penyuka k-pop dan si doi itu menuruti kata-katanya.

    "Kak, aku nggak apa-apa, kok. Beneran," lirih Devia agak pelan. Ia merasa bersalah karena membuat orang lain ikut campur dalam masalahnya.

    "Kamu mau keluar basah-basahan gitu?"

    "Tapi, Kak aku beneran nggak apa-apa," ujar Devia bersikukuh baik-baik saja.

    "Kalau kamu nggak apa-apa, kenapa nangis?"

    Kepala Devia tertunduk kembali.

    Dalam waktu kurang dari tiga menit, Tiara–teman yang dihubungi Ayana–datang dengan napas terengah-engah. Tiara masuk dan mendapati Ayana bersama dengan si Ketua club kematian. Alisnya mengerut melihat keadaan Adik kelasnya yang basah kuyup.

    Tangan Ayana terangkat meminta benda yang ia minta. Dibukanya tas lantas menyodorkan seragam dan rok abu-abu ke arah Devia. "Nih."

    Devia menatap pakaian itu tanpa menerimanya. "Aku—"

    "Kalau kamu gak ambil. Kakak pastiin mereka masuk BK hari ini juga," ancam Ayana.

    Devia terkejut atas pernyataan Ayana yang terdengar menakutkan di indra pendengarnya. Dengan berat hati, menerimanya. "Makasih, Kak," sahut Devia tersenyum kecil.

    "Kalau gitu, kami tunggu di luar." Mata Ayana melirik Tiara mengisyaratkan untuk menunggu di depan toilet.

    Tiara menatap waspada siswi di depannya, takut apabila tiba-tiba terjadi hal aneh terhadapnya. "Ayana? Lo Ayana Reveira Iskandar, kan?" Tiara menjaga jarak antara mereka berdua.

    Seketika Ayana menoleh perlahan tetapi memberi kesan menakutkan bagi Tiara, seperti di film-film horor yang tak sengaja ia tonton. "Ayana? Jadi nama gadis ini Ayana? Nama yang cukup cantik," sahutnya.

    Suhu tubuh Tiara menurun drastis mendengar penuturan Ayana yang semenjak kedatangannya berubah menjadi pribadi lain. "Ayana, please, jangan bikin gue mati muda! Gue masih pengen hidup!"

    Ayana tertawa melihat reaksi Tiara yang menganggap dirinya kenapa-napa alias kerasukan. "Ra, gue nggak apa-apa. I'm fine, Tiara Vallencia, cinta matinya si doi."

    Tiara memperhatikan penuh selidik. "Iya juga, sih. Emangnya ada hantu yang ngomong pakai bahasa Inggris?" gumam Tiara.

    "Ada, lah. Itu namanya hantu bule," sahut Ayana cepat. "Mau lihat, nggak?"

FLASHBACK [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang