IK -19

8K 373 3
                                    

Mereka baru sampai ketika pintu rumah ada yang mengetuk. Arya yang kini berada di ruang tamu, balik badan. Dirinya memang paling terakhir masuk karena memasukkan mobil terlebih dahulu di garasi. Sedang yang lain sudah masuk lebih dulu. Arya pun membuka pintu.

"Pak..." Deni dan Bayu mengangguk santun. "Bisa ketemu Naya?"

"Ohh mau ketemu Naya?! Sebentar." Arya pun mempersilakan Deni dan Bayu untuk masuk juga duduk. "Mam...." Panggilnya ke arah dalam.

Mam?! Deni dan Bayu saling tatap. Deni malah menyikut Bayu. Bayu angkat bahu.

Perasaan kita jelas deh tadi ngomong, kita cari Naya. Kenapa nggak langsung panggil Naya, malah panggil Mam. Mam siapa? Istrinya, ehh bukannya kakak Naya sudah meninggal. Apa Mam itu mertua Pak Arya.

Kurang lebih begitu batin mereka berdua bersuara.

"Nesh, MamNay mana?" Sontak kalimat Arya tersebut membuat Deni dan Bayu tercekat.

MamNay?! gumam mereka berdua.

"Di belakang, Pa."

"Panggilin, Nesh."

"Iya, Pa."

"Sebentar ya."

"Iya, Pak."

"Ada apa nih? Soal kuliah?"

"Buk...."

"Kenapa?" Pertanyaan Naya memotong jawaban Deni. "Ehh, ada tamu."

"Nay."

"Mereka mau ketemu kamu."

"Ohh... Ada apa?"

"Nay... Reyhan kecelakaan dan belum sadarkan diri sampai sekarang." Ujar Deni to the point. Bola mata Naya membesar, nafasnya terhenti beberapa detik. Rey..... "Kita ke sini buat ngasih tau sekaligus jemput kamu. Soalnya dari tadi kita hubungi kamu, susah nyambungnya." Mata Naya terasa panas. Ia melirik Arya. Arya balas menatap.

"Boleh, aku ikut Deni sama Bayu?" Lirih Naya hampir tidak bersuara.

"Boleh, biar sekalian saya antar." Naya menelan saliva. Tapi akhirnya dia mengangguk setuju.

"Nesh, MamNay ke rumah sakit dulu ya?"

"Ngapain, Mam?"

"Om Reyhan kecelakaan katanya. Sampai sekarang belum sadar." Papar Naya. Anesh membelalakkan mata. Om Rey....

***

Di rumah sakit Naya disambut hangat oleh Mila juga Chaca. Bahkan Chaca berhambur memeluk Naya saat tahu sosok itu muncul.

"Teh, A Rey...." Isak Chaca. Arya mengatupkan rahang.

"Nay, saya tunggu di sana ya?!" Bisik Arya yang tidak sanggup melihat keakraban Naya dengan keluarga Reyhan. Mereka sepertinya sudah benar-benar dekat, Batinnya. Naya mengangguk.

Reyhan terbaring lemah di ruang perawatan intensif. Terlihat sekujur tubuhnya dipantau alat medis. Ada benturan di kepalanya, begitu yang Naya dengar. Dan pihak keluarga sedang menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut.

Naya hendak menghampiri Arya saat Mila mengajaknya masuk ke ruangan. Arya menoleh dan mengangguk sekilas, mengizinkan Naya mengikuti keinginan Mila. Naya tampak bergeming, Arya lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Kamu masih mau di sini?" Tanya Arya pada Naya. Naya serba salah. Dia sedang tidak bisa membedakan ini sebuah pertanyaan tanpa maksud atau jebakan maut. Mila menatap Arya seksama.

"Hmmmm..." Mengetahui Naya tidak mempunyai jawaban pasti, Arya akhirnya memutuskan.

"Kamu di sini dulu aja. Saya pulang duluan ya?! Tapi kamu pulang jangan sore-sore, nanti dicariin Anesh." Naya mengangguk lemah. Arya pun pamit pada Mila dan berlalu meninggalkan rumah sakit.

"Anesh siapa?"

"Anesh Putri mendiang Kak Indri, kakaknya Naya."

"Ohh. Kalau yang barusan siapa?" Naya menelan saliva.

"Itu.... Papanya Anesh." Jawaban paling aman. Karena bukannya memang dia itu papanya Anesh. Nggak bohong kan? Batin Naya.

***

Arya berjalan dengan perasaan tidak menentu. Melihat betapa dekat Naya dengan keluarga Reyhan sedikit membuatnya iri. Naya tidak selepas itu jika tengah berada di keluarganya.

Selain itu, kekhawatiran Naya jelas terlihat dari sorot matanya. Kamu....?! Arya menghela nafas kasar.

Anesh termenung, ia teringat percakapannya dengan Reyhan di lobi hotel. Om... Om kecelakaan apa karena obrolan kita waktu itu?

"Pa, Om Reyhan gimana?" Tanya Anesh tepat saat Arya baru saja sampai.

"Pas Papa pulang sih masih belum sadar." Anesh mematung, rasa bersalah menggelayutinya. "Kenapa, Nesh?" Bukannya menjawab Anesh malah berhambur memeluk Arya sembari berlinang air mata. "Nesh?!"

"Om Reyhan kecelakaan bukan karena aku kan, Pa?" Isak anesh. Arya mengerutkan dahi.

"Kok kamu punya pikiran kayak gitu?"

"Semalam aku sama Om Reyhan sempet ngobrol. Aku minta Om Reyhan nggak deket-deket lagi sama MamNay. Karena aku nggak mau kehilangan MamNay. Om Reyhan setuju meski kata dia itu sulit." Arya menelan saliva.

"Udah, jangan nangis. Semua yang terjadi udah diatur sama Allah. Sekarang lebih baik kita berdoa, agar semua baik-baik aja." Anesh mengangguk. "Kalau gitu Papa ke kamar dulu ya?!"

"Iya, Pa."

Arya berbaring menatap langit-langit. Perasaan itu muncul kembali. Arya menarik nafas panjang.

Arya terbangun mendengar Ela tampak menerima tamu. Arya berjalan keluar kamarnya.

"Maksud kedatangan saya dan suami malam ini adalah untuk melamar Naya secara resmi. Pertama mereka sudah dekat dari lama. Kedua kondisi Reyhan membuat kami ingin menyatukan mereka secepat mungkin. Karena hanya Naya yang ada di ingatannya Reyhan." Arya mengerutkan dahi. Ela membulatkan mata lalu diliriknya Naya yang duduk di samping Ela. Naya menggeleng pelan.

"Nay, kami mohon."

"Tapi...."

"Nay..." Kalimat Mila terpotong karena tiba-tiba ponselnya berdering. "Pa, Reyhan, Pa." Mila menatap suaminya pedih. Seolah mengerti, sang suami pun mengajak pamit dan bergegas menuju rumah sakit.

Ela menatap Naya seksama, Naya hanya bisa menunduk.

"Mereka belum tahu status kamu, Nay?" Naya menggeleng. Ela menarik nafas.

"Aku ke kamar dulu ya?" Pamit Naya, Ela bergeming dan Arya yang semenjak tadi menyimak segera beranjak. Kembali ke atas tempat tidur, pura-pura masih terlelap.

IparkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang