IK - 12

10.4K 510 11
                                    

"Ayo pulang." Ajak Arya. Naya bergeming, ditariknya Naya agar beranjak. Tatapan Reyhan membuntuti keduanya sampai keduanya tak nampak lagi.

Naya membisu selama perjalanan. Arya sesekali melirik Naya. Antara kesal dan gemas, Arya mendaratkan tangannya tepat di paha atas Naya. Naya menepis pelan. Arya pun menarik nafas panjang.

"Kamu kenapa sih?"

"Coba semalam nggak kejadian." Ucap Naya begitu saja. Arya agak mengerem kendaraannya. Dahinya berkerut sembari melirik Naya.

"Kamu nyesel?"

"Iya." Jawab Naya singkat. Terasa ada beban berat yang menimpa Arya kini. "Kalau belum kejadian, Kak Arya bebas kalau mau sama Gina. Aku juga bebas...." Ucapnya kemudian.

"Bebas sama Reyhan?!"

"Ya sama siapa aja, pokonya bebas. Sekarang..." Naya menggantungkan kalimatnya beberapa saat. "Siapa juga yang mau sama aku, tapi Kak Arya masih dikejar-kejar. Mana cuma buat satu tahun doang nikahnya." Keluh Naya.

"Saya yang mau sama kamu." Tegas Arya. Naya memalingkan wajahnya ke jendela sampingnya. Arya segera menepikan kendaraannya. Naya melirik dengan sudut matanya. Arya tampak membuka seat belt lalu mencapai dashboard dan membukanya. Dicari kertas yang biasa ada di sana. Setelah berhasil ia dapatkan, ia sobek tepat di hadapan Naya. "Kita akhiri kesepakatan kita dulu." Nafas Naya berhenti. "Semenjak saya tunaikan kewajiban saya sebagai suami terhadap kamu, saya sudah lupakan soal kesepakatan waktu itu. Kalau kamu nyesel, saya terima. Karena mungkin saya bukan suami idaman buat kamu. Standar kamu mungkin seperti Reyhan, bukan saya." Nada Arya melemah. Menyerah juga pasrah, itulah yang terasa.

Arya kembali mengenakan seat belt, lalu mengemudikan mobilnya perlahan. Dada Naya sesak. Entah bagaimana perasaan dirinya saat ini. Semua bercampur menjadi satu. Naya menutup wajahnya, tubuhnya mendadak gemetar. Arya yang menyadari Naya sedang menangis, mengelus pundaknya lembut.

"Aku mau ke daerah atas dulu." Lirih Naya saat mobil berhenti di lampu merah pusat kota.

"Mau ngapain?"

"Ngadem. Aku nggak mungkin pulang, ketemu Ibu sama Anesh dengan kondisi hati nggak enak gini." Terang Naya.

"Oke, kita...."

"Aku mau sendiri." Potong Naya.

"Naya?!" Arya meraih jemari Naya. "Di atas sepi, udah sore. Saya temenin." Naya menarik tangan yang digenggam Arya. Tapi tidak ada kata persetujuan ataupun penolakan. "Mau di Pondok Halimun atau Selabintana?" Arya memberikan pilihan.

"Pondok Halimun."

"Oke." Ucap Arya yang segera mengemudikan mobilnya menuju salah satu objek wisata di Sukabumi itu.

Memasuki perkebunan teh, Naya meminta berhenti. Ia lalu keluar dari mobil dan berdiri di antara hamparan perkebunan teh sore hari ini. Arya berjalan mendekat. Setelah benar-benar dekat, Arya nekat memeluk Naya dari belakang.

"Ajari saya jadi suami idaman kamu." Bisiknya. Nafas Naya terhenti beberapa detik. Arya terus memeluk.

***

"Udah kuat buat sekolah lagi, Cantik?" Tanya Arya saat melihat putri semata wayangnya bersiap pagi ini hendak bersekolah.

"Udah dong." Anesh tampak riang seperti biasa.

"Sarapan yang banyak biar staminanya full."

"Oke, Papa."

"Aunty mana?" Tanya Arya sembari melirik pintu kamar Naya yang masih tertutup.

"Aunty sakit, Pa. Perutnya kram terus katanya." Mendengar jawaban Anesh, Arya segera menuju kamar Naya.

"Nay, kenapa?" Serta merta Arya mengecek suhu tubuh Naya. Agak hangat. Dielusnya juga perut Naya yang tengah dipegangi Naya.

"PMS."

"Mau ke dokter?" Naya menggeleng. "Mending ke dokter yuk?!" Bujuk Arya khawatir.

"Mau haid, ntar juga nggak."

"Diapain atuh biar kamu agak enakan."

"Pengen dikompres air hangat."

"Oke, sebentar." Arya segera bergegas ke dapur, mengisi botol kaca kosong dengan air hangat. "Ini." Arya membantu mengompres.

"Udah siang, Kak. Nanti Kak Arya telat ke kampus."

"Iya nggak apa-apa."

"Kak, Anesh juga harus diantar ke sekolahnya kan?"

"Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. Kan ada Ibu."

"Ibu lagi ke pasar lho."

"Iya bentar lagi juga pulang."

"Ya udah kalau gitu saya berangkat dulu ya." Pamit Arya yang tidak lupa mengecup kening Naya bertepatan dengan masuknya Anesh ke kamar Naya.

"Kalian ihh....." Protes Anesh. Naya melotot ke arah Arya.

"Apa sayang?" Arya merangkul Anesh. "Kiss bye sama Aunty."

"Aunty, aku berangkat ya?!"

"Hati-hati Anesh. Kalau pusing jangan dipaksain, telepon Papa atau Aunty aja ya. Nanti dijemput pulang."

"Siap, Aunty."

"Hati-hati ya." Pesan Arya pada Naya. Tampak sekali Arya begitu khawatir. "Istirahat." Tambahnya. Naya mengangguk.

Seharian Naya hanya berbaring di atas tempat tidur. Perutnya begah, sesekali kram. Belum ditambah rasa mulas yang luar biasa. Naya meringkuk.

"Assalamu'alaikum."

"Waa'alaikumsalam."

"Ibu..." Sapa Reyhan pada Ela. "Naya nya ada?"

"Naya...."

"Ibuuu....." Rintih Naya kesakitan membuat Ela juga Reyhan terperanjat. Mereka segera berlari menuju sumber suara.

"Nay?!" Seru Ela dan Reyhan hampir bersamaan saat melihat Naya kesakitan.

"Kamu kenapa?" Reyhan tampak sangat cemas. "Kita ke rumah sakit ya?!" Ujar Reyhan sembari menggendong Naya. Ela tertegun.

***

Arya tiba di rumah sakit saat Naya sedang ditindak oleh dokter jaga di UGD. Tatapannya bertemu dengan tatapan Reyhan.

"Makasih udah bawa Naya ke rumah sakit."

"Sama-sama, Kang."

"Saya tahu hubungan kamu dan Naya seperti apa tapi saya minta maaf sepetinya saya harus jujur sama kamu soal hubungan saya dengan Naya saat ini." Ujar Arya yang sontak membuat dahi Reyhan mulai berkerut. "Saya dan Naya sudah menikah." Reyhan membulatkan mata. Dadaknya sesak tiba-tiba. "Kami menikah atas permintaan Indri beberapa waktu sebelum dia meninggal." Tatapan Reyhan kosong, nafasnya terhenti sejenak, tapi tangannya mengepal kuat. "Saya harap kamu bisa mengerti posisi Naya saat ini dengan bisa menjaga jarak."

"Pa, Aunty...." Anesh berlari tergesa. Selepas pulang sekolah mendengar Naya masuk rumah sakit, Anesh memilih langsung ke rumah sakit.

"Lagi diperiksa dokter." Sahut Arya.

"Aunty tapi nggak apa-apa kan?" Tampak Anesh begitu khawatir.

"Belum tahu, semoga nggak kenapa-napa ya?"

"Iya." Anesh lalu berjalan menuju pintu UGD, mencoba mengintip ke dalam.

"Naya ibu sambung terbaik bagi putri saya." Papar Arya.

"Selamat, Kang." Reyhan mencoba berbesar hati meski sulit. "Kalau begitu saya pamit." Ujar Reyhan cepat. Ia tidak ingin emosinya meledak di sini pada Arya di depan Anesh.

Reyhan berlalu dengan perasaan yang sulit ia hadapi dan terima. Impiannya musnah saat itu juga. Harapannya hancur berkeping-keping. Matanya mendadak penuh kilatan, membuat ia merasa silau sehingga beberapa kali ia harus memijat ujung hidungnya agar kilatan itu hilang.

IparkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang