IK - 42

6.9K 371 11
                                    

"Nay, gimana tadi?"

"Ya gitu aja."

"Tapi kata Deni, mereka udah case close kok."

"Serius?"

"Iya."

"Syukurlah kalau begitu."

"Ya udah ahh, udah dulu ya. Nggak mau ganggu ibu negara, siapa tahu disuruh tugas kenegaraan." Kelakar Dea.

"Kamu kenapa, De?" Tanya Naya yang ditimpali kekehan Dea di ujung telepon. Keduanya pun tiba-tiba tergelak. "Oke, see you Dea."

"Dea kenapa?" Tanya Arya yang kini mematung di ambang pintu kamar.

"Hah?! Pa Arya nguping?"

"Nggak sengaja dengar."

"Ihh Pa Arya diam-diam....." Naya beranjak lalu menggelitiki Arya.

"Geli, Mam. Ampun." Arya meronta-ronta sampai akhirnya ia dapat mengunci kedua tangan Naya. Ditutupnya pintu kamar lalu tidak lupa dikuncinya pintu tersebut. Arya pun kemudian menuntun Naya ke atas tempat tidur. Tatapan keduanya bertemu. Perlahan Arya memajukan wajahnya, mempertemukan bibir mereka secara lembut.

Baru saja Arya hendak membuka kancing atas piyama Naya saat ponselnya berdering.

"A, Bapak kritis."

"APA?! Iya, Jang. Saya segera ke sana. Makasih kabarnya." Tutup Arya.

"Kenapa?" Tanya Naya khawatir.

"Bapak kritis. Saya ke rumah sakit dulu ya?"

"Aku ikut."

"Jangan, kamu istirahat di rumah aja." Larang Arya sembari mengecup kening Naya lalu pergi begitu saja.

Arya tengah menunggu di luar ruangan saat Ami dan Reyhan berjalan melewatinya.

"Pak..." Sapa Ami.

"Ehh, Mi... Rey..."

"Kang." Reyhan mengangguk.

"Lagi apa, Pak?"

"Orang tua saya dirawat di sini. Kalian?"

"Neneknya Kak Reyhan baru saja meninggal."

"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Turut berbela sungkawa."

"Makasih, Kang. Ya sudah kalau begitu kita duluan. Kita mau cek mobil jenazah apa sudah siap atau belum." Ujar Reyhan berpamitan. Arya mengangguk.

"Ohh iya silakan."

***

Kesehatan Yuda terus menurun, di saat bersamaan Jajang diminta pulang kampung oleh keluarganya. Ayahnya jatuh saat membetulkan genting yang bocor akibat hujan deras. Arya bingung, terlebih ternyata Jajang bukan hanya pulang dulu, tapi memang diminta tinggal di kampung menggantikan pekerjaan bapaknya sebagai mandor.

Hari demi hari berlalu, Arya bergantian dengan Hani menjaga Yuda. Arya juga kembali sibuk mencari orang yang bisa jaga Yuda. Tapi sampai detik ini ia belum berhasil mendapatkan pengganti Jajang.

"Hani tuh udah Akang ajakin pulang ke rumah Akang, udah waktunya dia lanjutin hidup. Dia masih muda, masih butuh pendamping. Anak-anak juga butuh sosok ayah. Tapi Hani bersikeras jaga Bapak, kasian katanya." Ujar Aep, kakaknya Hani. Arya tersenyum kecut.

"Iya." Arya speechless.

"Hani mah keras kepala. Kan Akang jadi bingung, terlebih katanya biaya hidup dia sekarang ditanggung Bapak. Sekarang Bapaknya sakit gini, kan jadi nggak enak. Coba emang punya pendamping baru, nggak tergantung sama Bapak."

"Iya."

"Atau kenapa Hani nggak sama kamu aja?" Tutur Aep bertepatan dengan munculnya Naya. Naya yang mendengar ucapan Aep segera membulatkan mata lalu ia pun balik badan.

"Mam...." Panggilnya. "Maaf, Kang. Saya susul istri saya dulu." Arya langsung beranjak. "Mam...." Naya tidak menggubris panggilan Arya, ia terus berjalan. "Mam...." Naya semakin mempercepat langkahnya. "Kanaya, tunggu." Arya berlari dan berusaha meraih lengan Naya.

"Sesuai prediksi aku, cepat atau lambat bakal ada yang minta Kak Arya nikahin Teh Hani." Ujar Naya dengan suara bergetar, menandakan dirinya sedang berusaha menahan sesuatu. Naya Jika sedang tidak enak hati, ia akan kembali memanggil Arya dengan panggilan kakak.

"Nay...."

"Kasih aku waktu, aku pengen sendiri." Naya berusaha melepaskan diri.

"Nggak, udah mulai malam. Saya temenin."

"Kak Arya kan harus jaga Bapak malam ini." Arya menelan saliva. "Ini makan malam Kak Arya. Aku mampir cuma mau kasih ini." Naya menyerahkan kantong plastik putih berisi kotak makanan pada Arya.

"Nay....." Lirih Arya sembari menerima kantong tersebut.

"Aku pulang duluan ya?!" Arya kembali menggenggam tangan Naya.

"Nay...." Naya melepaskan diri lalu berlari. Arya menghela nafas melepaskan kepergian Naya.

"Itu istri baru kamu?" Tanya Aep sekembalinya Arya.

"Iya, Kang."

"Kapan nikahnya? Kok akang perasaan nggak tahu. Muda banget, mahasiswi kamu?"

"Udah lama, iya bisa dibilang begitu. Tapi tepatnya dia adik mendiang istri saya dulu."

"Ohh..."

***

Perasaan Naya campur aduk. Sesampainya di rumah ia sesegera mungkin berganti pakaian lalu berbaring di atas tempat tidur, meredakan kegundahan hatinya. Tapi semakin sepi, ia semakin tersiksa. Ia pun beranjak.

"Belum tidur, Nesh?"

"Belum, Mam."

"MamNay boleh tiduran di sini?"

"Boleh dong. Sini, Mam."

"Lagi apa?"

"Lagi edit foto kita pake template gini. Lucu kan?" Anesh menunjukkan hasil editannya yang memuat foto Anesh, Naya juga Arya.

"Nesh....."

"Iya."

"Kalau misal MamNay dan Papa pisah, kamu pasti ikut Papa ya?" Anesh langsung melirik dengan tatapan tajam.

"Kok MamNay ngomongnya gitu. MamNay mau pisah sama Papa? Kenapa? Aku nggak mau ahh, aku pengen kayak gini aja. Udah nyaman banget."

"Kalau misalkan." Ujar Naya penuh penekanan.

"Nggak mau, Mam. Aku nggak mau bayangin. Aku tetep pengen ada MamNay. Cukup aku kehilangan Mama, aku nggak mau kehilangan MamNay juga." Anesh berhambur memeluk Naya yang tengah berbaring di sampingnya. "Jangan pisah. Aku mau gini aja." Rengek Anesh. Mata Naya berkabut.

***

"Mam...." Arya mengernyitkan kening mendapati kamarnya rapi pagi ini. Tadi selepas sholat subuh Arya memang pulang menitipkan Yuda pada suster yang sedang bertugas karena dia hari ini ada jadwal mengajar pagi. Dia ke mana? Batinnya. Arya segera menghampiri Ela yang tengah menyiapkan sarapan. "Bu, liat Naya?"

"Di kamar kalian nggak ada?"

"Nggak ada."

"Di kamar Anesh mungkin."

"Ohh iya, biar Arya cek."

"Bagaimana kabar Bapak?"

"Belum ada kemajuan, Bu."

"Yang sabar ya."

"Iya, Bu. Makasih." Ucap Arya. "Bu..." Lirih Arya ragu.

"Iya."

"Titip Naya ya, Bu."

"Titip Naya?!" Ulang Ela dengan dahi berkerut. Arya mengangguk pelan.

IparkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang