40

3.2K 185 2
                                    

Kedua sahabat Aya tercengang mendengar pengakuan Aya akan keakurannya dengan Dion.

"Gua masih gak habis pikir bisa-bisanya lo akur aja saam Dion dengan mudahnya," Maudy menyeruput es tehnya.

"Gua setuju dengan Maudy, kita berdua tahu sejak maba lo tuh gak pernah damai sama tuh curut. Sekarang kok bisa lo sama dia jadi deket gitu?" sahut Clara.

"Hmm ya bisa lah. Apa sih yang gak bisa di dunia ini?"

"Lo nikah sama Kim Oppa! Itu yang ga bisa," sambar Clara langsung.

Maudy mengangguk mengiyakan.

"Yeee, gak ada yang tahu yaaa. Dah ah, gua mau ketemu Dion dulu. Dadaahhh," Aya menyambar tas punggungnya kemudian berlalu meninggalkan Clara dan Maudy.

Beberapa hari yang lalu, Aya dan Dion memang janjian untuk mengerjakan tugas bersama hari ini. Lebih tepatnya tugas susulan karena mereka pernah tak mengikuti perkuliahan.

"Maaf ya, lo nunggu lama jadinya," ucap Aya duduk berhadapan Dion yang sepertinya asyik nge-game.

"Ah, gak kok, Ya. Selow, aja nih." Segera mungkin Dion memperbaiki duduknya. Bekas makannya telah ia singkirkan, meninggalkan minuman dingin yang masih tersisa setengah.

"Passwordnya apa, Ion?"

"Apaaja."

"Hah? Maksudnya gimana?"

"Yaa, passwordnya apaaja, Ya."

"Ya apa aja gimana?"

Dion menepuk dahi, kayaknya si Aya gak konet nih. Langsung ia sambar ponsel Aya dan memasukkan password wifi kafe.

"Nih passwordnya, apaaja." Tunjuk Dion.

Barulah Aya mengangguk tanda mengerti. "Hehehe, sori." Aya terkekeh menyadari kesalahannya.

Mereka pun mengerjakan tugas dengan serius. Dion yang punya kebiasaan buruk perihal tugas pun ikut membantu Aya mencari referensi materi yang akan dibuat laporan. Hingga tak terasa, setelah hampir tiga jam bergelut dengan Microsoft word dan materi-materi dari Om Sitahusegalanya, laporan mereka pun selesai.

"Sisanya lo beresin ya, Ion."

"Tinggal diprintkan?"

Aya berdeham, sembari menutup laptop Dion, "Sekalian dijilid, filenya udah gua simpan di dokumen dengan nama judul materi kita," jelas Aya.

"Oke deh."

"Terus, besok pagi-pagi langsung lo kumpulin di meja Pak Subro," titah Aya.

"Siap laksanakan."

"Oke deh, kalo gitu gua cabut. Udah sore juga," kata Aya usai menghabiskan minuman pesanannya.

"Gua antar gimana?" tawar Dion.

"Lain kali aja deh, Ion," tolak Aya.

"Ada yang jemput?"

"Enggak ada sih."

"Ya udah, sekalian aja sama gua. Kita searah kok."

Aya tampak berpikir sebelum akhirnya mengiyakan.

Usai membayar pesanan, mereka keluar bersama-sama. Sempat terjadi perdebatan kecil beberapa waktu karena Aya ingin membayar minumannya sendiri, tapi dicegah oleh Dion. Pada akhirnya, Aya mengalah juga. Bukan kalah debat, tapi kalah cepat membuat Dion tersenyum penuh kemenangan.

"Anggap aja sebagai rasa terima kasih gua karena suka rela kerja tugas bareng gua." Dio begitu mereka sampai di parkiran seraya memberikan Aya helm.

"Lo selalu bawa helm dua kalo bepergian?" tanya Aya menerima helm dari Dion.

"Enggak. Kebetulan gua antar adek gua tadi."

"Gak lo jemput?"

"Gimana mau jemput, lah dia pulang bareng teman-temannya."

Aya ber-o sebelum akhirnya memakai helm tersebut.

Begitu mesin motor Dion menyala, Aya pun langsung naik di belakangnya. Dan motor pun meluncur meninggalkan kafe tersebut. Tak banyak yang Aya lakukan, selain berusaha menahan tubuhnya agar tak bersentuhan dengan Dion.

"Kenapa, Ion?" tanya Aya saat Dion menghentikan motornya tiba-tiba di pinggir jalan.

"Kita ke masjid seberang sana dulu ya, salat Asar, baru antar lo pulang. Mumpung masih ada waktu," jawab Dion menancap gas menyebrang jalanan.

Seketika Aya tertegun mendengar jawaban Dion. Tak disangka, manusia yang selalu diajaknya berdebat adalah orang yang rajin dalam salat.

"Ini beneran Dion bukan sih?"

***

Dosen Pak Setan! || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang