Epilog

8.5K 277 77
                                    

Aya menutup netbooknya, sudah cukup ia menulis malam ini. Dilihatnya jam telah menunjukkan angka 2 dini hari. Ah, ternyata sudah lewat jam tidur rupanya. Beginilah kebiasaan baru Aya akhir-akhir ini, kesulitan tidur hingga sebagai pengisi waktu kosong ia mencoba-coba menulis. Barangkali semua pikiran yang mengganggunya bisa terusir. Minimal meringankan beban pikirannya.

Aya langsung merebahkan badannya, hampir lima jam ia duduk sambil menatap layar monitor tanpa henti. Ditatapnya langit-langit kamarnya yang putih bersih, sudah tak ada lagi gambar-gambar idol Korea di sana.

Tak sadar Aya tersenyum.

Ternyata ia pernah sefanatic itu dulu.

Ia membalikkan badannya, dilihatnya kembali meja belajar yang baru saja beberapa menit lalu ditempatinya menulis. Di sana hanya ada netbook serta puluhan buku berjajar rapi. Sudah tak ada karakter-karakter idol Korea berjajaran di sana. Sesaat ia kembali telentang.

"Ternyata, sudah banyak yang berubah," gumamnya.

Pelan-pelan, ia memejamkan matanya. Mencoba menuju alam bawah sadar, sayang tak bisa.

Bosan dengan semuanya, ia bangkit. Berjalan ke kamar mandi, hendak berwudu. Mungkin salat bisa mengusir gelisahnya dan membuatnya tidur.

Tiga tahun berlalu, banyak hal berubah dari Aya. Kebiasaan yang mengidolakan artis Korea seketika hilang, berganti buku-buku fiksi. Meski, kebiasaannya nonton drama tidak. Bagaimana pun itu merupakan hal wajib bagi dirinya untuk mendapat inspirasi dalam menulis naskah drama. (Ah! Aku lupa mengenalkan, bahwa sejak lulus S-1, Aya telah bekerja sebagai penulis naskah film).

Bahkan, yang dulunya terkenal keras kepala dan manja kini berubah menjadi gadis anggun dan bijak. Entalah apa yang membuatnya seperti itu, yang pasti semua yang ada di diri Aya telah berubah, banding terbalik seperti dulu.

Hanya satu yang disayangkan, keceriaannya dulu entah mengapa sulit ditemukan belakangan ini. Membuat orang-orang disekitarnya kebingungan, tapi tak bertanya. Takut membuat gadis itu tersinggung atau gimana.

"Aku sudah sampai di tempat biasa."

Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Aya. Aya semakin mempercepat jalannya, tanpa berniat merespon pesan tersebut. Gara-gara baru tidur lepas subuh tadi, ia jadi terlambat.

Hari ini ia memang ada janji dengan seseorang. Mereka memang sering bertemu minimal sebulan sekali. Ya anggap saja pertemuan rutin. Itu lah mengapa, saat bangun tadi ia langsung marah-marah tak jelas membuat Bunda dan Arya seperti orang linglung, sungguh ia tak ingin melewatkan pertemuan yang hanya berdurasi satu jam ini.

"Gimana kabarmu?" pertanyaan pertama yang menjadi pembuka pertemuan mereka.

"Ya, seperti yang kamu lihat. Baik," jawab Aya.

"Masih sulit tidur?"

"Hmmm, ya. Selalu."

"Sudah menerapkan yang saya sarankan?"

"Selalu, hampir tiap malam. Bahkan kalau dijadikan buku pun mungkin sudah jadi novel," canda Aya.

"Kenapa gak dijadiin novel saja?"

"Enggak. Saya gak mau, dan gak mau. Saya tidak ingin orang-orang mengingat kebodohan saya."

Lawan bicaranya terkekeh mendengar jawaban Aya. Bukankah dari dulu hingga sekarang Aya selalu bodoh?

Sesaat pembicaraan mereka terhenti begitu pramusaji membawakan pesanan mereka.

"Hmmm, kabar dia bagaimana?" tanya Aya disela-sela makannya. Sesungguhnya amat susah ia utarakan, namun keingintahuannya lebih besar dibanding egonya.

Dosen Pak Setan! || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang