11

5K 276 0
                                    

"Keadaan Mama gimana?" Kalimat pertama yang ia lontarkan saat mendudukkan dirinya pada sebuah sofa.

"Mama baik-baik aja kok," ucap wanita paruh baya itu tersenyum usai meneguk secangkir tehnya.

"Airelhan bilang kemarin Mama kepeleset di kamar mandi."

"Adik kamu bilang begitu?" Membuat yang ditanya mengangguk mantap.

"Makanya Anas ke sini," jawabnya.

Wanita paruh baya itu menghela napas pasrah, "Mama sudah bilang sama adikmu untuk tidak menemuimu, tapi tetap saja ngotot pulang ke Indo."

"Gak apa-apa kok, Ma. Justru Anas senang, itu artinya Relhan khawatir sama Mama."

"Kamu? Naik apa kamu ke sini? Pesawat?"

Lelaki itu menggeleng. "Anas pakai jet pribadi Papa, mumpung beliau ada di Indo ngurus perusahaannya."

Mendengar jawaban sang anak, wanita itu menghela napas. "Kamu masih enggan untuk bergabung bersama papamu?"

"Enggak, Ma. Anas senang dengan pekerjaan yang sekarang kok meski suatu saat Anas tetap lepasin demi nerusin usaha Papa."

Wanita itu mengangguk paham. Ya, itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Saat papanya telah pensiun dari perusahaan yang dirintisnya maka mau tidak mau Anas-lah yang akan menggantikan beliau.

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya wanita itu lagi.

"Hmmm, seperti biasanya, Ma."

Wanita itu tersenyum mendengar jawaban putranya. Selalu sama saat ia menanyakan pertanyaan yang sama.

"Apa di sana tak ada yang menarik? Hmmm?" goda mamanya.

Membuat Anas menggeleng cepat. "Mama jangan mulai deh," ucapnya merajuk.

Mamanya tertawa pelan. "Kau itu, selalu saja begitu bila Mama menggodamu. Serius tidak ada yang menarik di sana? Rekan kerjamu mungkin?"

"Ya, Mama. Anas ke sini buat nemuin Mama loh, bukan malah ngomongin Mama."

Sang Mama beranjak dari duduknya dan memilih duduk di samping Anas sembari mengusap-usap bahunya. "Cobalah untuk mencari, Nas, jika tak ingin dijodoh-jodohkan oleh papamu."

"Ya, Ma. Nanti juga ada kalau udah nemu yang cocok."

"Mama tahu kok, tapi jangan kelamaan. Kalau bisa sebelum acara syukuran perusahaan."

"Emang kenapa, Ma?"

"Biar bisa kamu kenalin sama papamu, karena Mama yakin beliau akan mengenalkanmu dengan putrid rekan bisnisnya bila ia tak melihatmu membawa gandengan."

PANG!!!

Ucapan mamanya seketika memberinya beban baru.

Meski usianya telah beranjak 28 tahun, tapi ia ingin fokus dengan karir dan masa lajangnya tanpa harus ada drama pacaran. Baginya berpacaran sudah tak penting terlebih umurnya yang hampir kepala tiga. Berkarir menjadi salah satu bentuk ia menikmati masa sendirinya, perihal jodoh tak ia pusingkan sebab ia percaya bahwa bila sudah waktunya maka ia akan dipertemukan dengan orang yang tepat dan membuatnya yakin untuk menuju ke jenjang pernikahan.

Sayang seribu sayang, hingga saat ini ia belum juga menemukannya. Dan itu tidak masalah baginya. Yang jadi masalah adalah Papa. Selain karena didesaknya untuk bergabung di perusahaan juga didesaknya mencari pasangan hidup.

Anas menyugar rambutnya dengan tangan kanan. Pusing dengan apa yang ia pikirkan dan tak menemukan jawaban.

"Nas, mau makan siang dulu? Mama sudah siapkan menu kesukaanmu."

Anas mendongak, "Relhan gimana, Ma?"

"Ah, udah. Gak usah mikirin adikmu, dia sedang sibuk akhir-akhir ini. Katanya ada proyek baru atau apa itu Mama gak ngerti."

Anas mengangguk mengiyakan lantas berdiri mengikuti Mama ke ruang makan.

Sungguh hal yang paling ia senangi saat mengunjungi mamanya ialah selalu dihidangkan dengan menu favoritnya. Suatu hal yang sangat langkah menurutnya.

Ooo

Demi Pak Setan yang menyamar jadi manusia tampan, Aya rasanya ingin mencabik-cabik dosennya yang satu itu. Kemarin aja ia sudah diwanti-wanti untuk memberitahu teman sekelasnya untuk mengumpulkan tugas mereka, dan kenyataannya? Sekarang dengan seenak jidatnya si Dosen itu malah memindahkan hingga pekan depan. Apa tidak keterlaluan namanya? Terlebih Aya rela-rela begadang, merelakan jadwal nonton drakor dan dengerin lagu K-Pop demi tugas tersebut. Namun berakhir dengan kesia-siaan.

Aya memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya tanpa nafsu sambil men-scroll layar gawainya. Kalau saja cacint-cacing di perutnya tida berdemo, mungkin ia akan mogok makan. Namun, tak ia lakukan mengingat sejak selama ia belum lapar. Takutnya ia berakhir di RS hanya karena tidak makan dalam sehari. Dasar lebay kamu, Aya!

Saat suapan kedua memasuki mulutnya, tiba-tiba layar ponselnya menampilkan semua panggilan dengan nomor yang tak diketahui. Aya mengurungkan suapannya, dahinya berkerut.

"Nih siapa sih? Dari kemarin nelpon-nelpon mulu," gerutunya dan memencet reject dan melanjutkan makannya yang tertunda.

Selang beberapa waktu, nomor tersebut kembali menghubungi. Aya kembali me-reject-nya. Begitu seterusnya hingga Aya merasa lelah dan memilih untuk menerima panggilan tersebut.

"Halo, ini siapa sih ganggu-ganggu mulu. Lo tahu gak gua lagi gak mood nih! Dosen gua ngundurin pengumpulan tugas secara sepihak. Padahal tuh tugas udah gua bela-belain kerja sampai begadang dan tidur jam 4 subuh," emosi Aya. Tak sadar ia malah curhat dengan penelpon yang entah siapa. Tapi bodoh amat! Asal segala unek-uneknya udah dia lampiaskan kepada nomor baru itu.

"Selamat siang, Aya! Saya Anta, dosen kamu."

"HAH??? PAK SETAN??"

"AYA!!!"

Upss!! "Sorry, Pak! Maksud Aya, Pak Anta. Ngapain bapak nelpon Aya?"

"Saya cuma mastiin, kamu gak lupa kan sama jadwal saya hari ini?"

"Eiihhh!!" langsung saja jantung Aya berdetak dua kali lipat mendengar ucapan Pak Anta.

"Sudah Zuhur nanti saya ada kelas di jurusan Bahasa semester 4 kelas C."

"Ehh, iya, Pak! Aya ingat kok, ini juga Aya udah stand by di kampus kok. Hehehe," ngeles Aya.

"Oke. Jangan lupa dokumentasinya dikirim biar saya yakin kalau kamu masuk ngajar."

"SIAP LAKSANAKAN, PAK!" seru Aya.

"Oke, saya tu—"

"Pak pak pak!"

"Ya, ada yang mau ditanyakan?"

"Bapak ngambil kontak saya di mana? Bapak fans ya sama Aya?" tuduh Aya cecengesan.

"Itu tidak penting. Yang terpenting itu laksanakan saja tugasmu dengan baik!!"

Sempat Aya menjauhkan gawainya dari telinga mendengar ucapan Pak Anta, keras dan tegas. Membuat Aya bergidik ngeri.

"Siap-siap, Pak. Aya laksanain kok," ucap Aya lalu memutuskan panggilan sepihak.

Makan setengah pagi dan siangnya sudah separuh tandas. Ia beranjak dan memulai rutinitas barunya. Huuuffttt, selamat studi banding, Ay! ucapnya sembari memijit-mijit kepalanya.

Ooo

Dosen Pak Setan! || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang