Setelah mengetahui kenyataan bahwa sekarang aku berada di zaman Majapahit aku menangis. Aku hanya menangis sebentar saja, karena sia-sia juga menangis karena aku tak bisa kembali. Rasanya sangat asing. Di dunia antah berantah sendirian. Memang, aku sudah hidup sebatang kara hanya saja kini aku berada di masa yang lain. Pada masa ini kehidupan lebih rumit dari apa yang dibayangkan. Hidup saja sudah diatur oleh kasta. Mungkin jika disetarakan kini mungkin aku adalah kasta terendah. Kasta mleccha atau sudra. Yah, aku tak mengerti banyak, karena pada dasarnya aku anak IPA yang tidak terlalu mengerti sejarah.
Wanita muda yang menolong ku bernama Sri Sudewi. Sekilas, aku pernah mendengarnya di buku sejarah, namun yang ku ingat hanya itu. Sejujurnya, Sudewi seolah memiliki dua sisi. Sisi putri bangsawan yang anggun, dan sisi anak perempuan yang heboh, berisik, grasak-grusuk dan sedikit menyebalkan. Dan, Sudewi memperlihatkan sisi keduanya. Ah, seharusnya aku memanggilnya dengan Ndoro. Ketika situasi sudah tenang, kami mulai berbicara baik-baik.
"Anu...Ndoro, maaf kalau tadi saya lancang. Saya ingin menanyakan sesuatu," ucapku. Sudewi menaikkan satu alisnya. "Wah, kepribadian mu langsung berubah ya. Kau sangat cepat beradaptasi. Apa yang ingin kau tanya kan?"
"Aku sepertinya membawa barang-barang ku, bentuknya-"
"Ini?" tanya Sudewi seraya menyodorkan handphone ku. Aku lantas mengambil nya dan berterimakasih padanya.
"Lantas, kau akan kemana habis ini? katanya kau tidak ingat apa-apa selain namamu?"
"Iya, mungkin saya akan mencari pekerjaan baru untuk menghidupi diri," ucap ku.
"Bagaimana kalau kau jadi dayang ku selama di Trowulan? Dayang pribadi ku mengundurkan diri karena penyakitnya. Sekarang aku hanya ditemani oleh pengawal. Yah, hitung hitung sebagai bentuk terimakasih mu pada ku karena sudah menolongmu, kenapa tidak kau terima saja tawaranku?" tawar Sudewi pada ku.
"Ah, terimakasih banyak Ndoro sudah banyak berbuat baik pada ku. Aku akan dengan senang hati menjadi dayang Ndoro," ujar ku seraya menunduk. Mau tak mau aku harus mau. Jika tidak mau makan apa aku? Dan bagaimana aku hidup di Majapahit?
"Baiklah. Kalau begitu sekarang sesi pengenalan, aku akan mengenalkan diri ku secara lengkap, sini," ucap Sudewi sambil menepuk samping bangku nya. Aku merasa tak enak. Sudewi sudah menjadi 'ndoro' ku. Tak mungkin aku bersikap kurang ajar. Aku beruntung ketika aku bangun tadi dan bersikap kurang sopan tidak ada siapa pun di tempat itu. Mungkin, kalau ada orang lain, terlebih pengawal nya,mungkin aku sudah di penggal. Lucky lucky.
Aku lebih memilih duduk dibawah dibanding duduk di samping Sudewi. Namun pada akhirnya Sudewi memaksa.
"Kemana sikap tak sopan mu itu, kau sekarang seperti peliharaan yang jinak. Santai saja, lagipula pengawal ku di luar."
Aku mengangguk. Sudewi mulai bercerita mengenai dirinya, dan tujuan nya ke Trowulan.
"Sejujurnya karena kau lebih muda dari ku, aku ingin kau memanggil ku 'Yunda' dibanding Ndoro. Entah kenapa terdengar lebih bersahabat saja," ungkap Sudewi.
"Tak bisa begitu Ndoro, aku-"
"Ah, begini saja ketika kita hanya berdua seperti ini kau harus memanggilku dengan sebutan 'Yunda'! ini perintah!"
Aku tak bisa menolak nya dan hanya bisa mengangguk. Entah apa tujuan Yunda Sudewi. "Baik, Yunda,"
Sudewi tersenyum senang. Sebenarnya ada sesuatu yang ingin ku tanya kan pada Yunda Sudewi. Hanya saja, aku terlalu ragu untuk menanyakannya. Namun, jika aku tak bertanya aku akan penasaran.
"Anu, Yunda,"panggil ku pelan. Yunda Sudewi menoleh.
"Kenapa Yunda berbuat baik pada orang asing seperti ku? Kenapa?" tanya ku.
Sudewi menghela nafas. "Entah, aku hanya punya firasat sesuatu tentang mu. Dan firasat ku tak pernah salah," jawabnya. "Atau mungkin ini memang yang namanya takdir? Kita sudah ditakdirkan untuk bertemu!"
Aku meringis kecil. "Mohon maaf sebelumnya Yunda, tapi aku ini orang yang tidak terlalu percaya akan takdir."
---
Jangan lupa votment
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...