Setengah tahun berlalu begitu saja. Tak terasa juga aku telah menjalani hidup di bumi Majapahit selama itu. Banyak hal yang terjadi. Termasuk... Ini.
"Wira, ini titipan surat lontar," ucap Hayam.
"Dari Yang Mulia Putri Sudewi?" tanya ku.
"Ya memang dari siapa lagi? Kakak sepupu ku itu kan sudah dari awal mengincar mu," kata Hayam kemudian.
Aku menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Sebenarnya apa yang Putri Sudewi lihat dari diri ku?
Semua bermula dari setengah tahun yang lalu. Ketika aku resmi menjadi ajudan sang Maharaja Sri Rajasanagara, ia memiliki urusan di daerah Daha. Jarak dari Trowulan dan Daha cukup jauh sebenarnya. Namun, mau bagaimana lagi? Kami pada akhirnya kerapkali bolak-balik dari Trowulan ke Daha.
Di Daha, aku bertemu putri Sudewi. Ia adalah putri dari bhre Wengker dari istri sebelumnya. Namun, ia begitu disayang oleh ibu sambungnya, Bhre Daha.
Pertama kali mengenal nya karena aku diminta untuk menemaninya berjalan-jalan ke pasar. Sejujurnya aku agak kikuk menemaninya. Tapi tak ada keluhan, menandakan tugas ku bagus.
Semenjak hari itu, ia sering kali menyapa ku. Bahkan mengajakku mengobrol. Tentu, pada akhirnya aku memilih untuk menghindari putri Sudewi. Aku tidak mau ada rumor mengenai dirinya. Dan sebagai gantinya, kini ia sangat rajin memberikan ku surat lontar dengan perantara Hayam.
"Besok lagi, jangan terima surat lontar dari putri Sudewi. Selanjut nya, tidak akan ku baca," kata ku.
"Wah, kejam sekali Wira. Sekelas Putri Sudewi saja kau tolak. Kurang apa lagi kakak sepupu ku itu? Cantik? Dia cantik. Pintar? Dia pintar. Adab nya juga bagus," ucap Hayam.
"Yang Mulia Sri Rajasanagara, lebih baik anda diam saja dan lanjutkan pekerjaan anda yang menumpuk. Aku sudah lelah melihat tumpukan perkamen," kata ku lagi.
"Kejam sekali Wira," ulang Hayam.
Aku menatap nya tajam, "Berisik. Cepat selesaikan tugas mu itu!"
Hayam melanjutkan pekerjaan nya sambil bersenandung kecil. Dan aku menemani nya.
"Wira, kau sendiri bagaimana perasaan mu?" tanya Hayam lagi.
"Hah? Apa maksudnya?" tanya ku tak mengerti.
"Yah... Perasaan mu pada Yunda Sudewi?"
"Tidak ada yang spesial, dia hanyalah putri yang perlu dijaga sebaik mungkin."
"Tapi, kau tidak membenci nya kan?" tanya Hayam.
"Membenci? Tentu tidak."
Hayam menghentikan pekerjaannya, lalu tersenyum kecil sambil menatap ku.
"Kalau begitu, ini hanyalah masalah waktu ya? Mungkin sekarang, kau belum tertarik tapi tidak ada yang tahu besok."
Aku tersenyum miring, kemudian menatap jendela. Dari kejauhan, aku dapat melihat putri Sudewi sedang berada di taman samping ruang kerja Hayam bersama pelayannya, seperti nya ia sedang melihat bunga yang bermekaran.
"Well, let's see," gumam ku pelan.
***
Entah bagaimana ceritanya, aku diminta kembali menemani Putri Sudewi berjalan-jalan. Hari ini ia ingin ke pasar. Kini aku berjalan di belakangnya, bersama pelayannya—Sundari.
Sundari adalah wanita muda yang pendiam dan tak banyak bicara. Aku rasa dia adalah tipe orang yang selalu serius.
"Ndoro, hati-hati dalam berjalan. Awas ada batu," peringat Sundari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...