Aku tersenyum senang, mendengar informasi dari Rasmi. Kini, aku dan Kemala telah kembali ke kamar kami. Sesampainya disana, aku segera menyuruh Rasmi untuk mempersiapkan daun lontar, guna mengirimkan pesan. Setelah semua persiapan siap, dengan segera aku menuliskan pesan yang berisi informasi berkaitan dengan obat terlarang.
"Apa yang kau tulis? Aku tak mengerti," kata Kemala.
"Eh? Kau bisa membaca?" Tanya ku. Sebab, yang aku tahu pada zaman ini tingkat melek huruf sangat lah kecil.
"Bisa, sedikit."
"Ini adalah huruf alphabet. Jauh di luar sana, ada beberapa daerah yang memakai huruf ini. Aku memakai huruf ini guna mengantisipasi adanya kebocoran informasi," ucap ku. Kemala manggut-manggut, mengerti.
"Nanti, tolong suruh Bena untuk kirimkan ini pada Hayam dan Wira," ucap ku lagi.
Kemala mengangguk. "Tengah malam nanti, aku berikan padanya."
Bena adalah orang suruhan Hayam yang ikut menyusup bersama kami. Hanya saja, bedanya ia menjadi tukang kebun disini.
Fase 1 dari rencana ini, selesai.
***
"Untuk hari ini, kalian belum melayani tamu. Kalian pelajari saja dari yang lainnya," ucap Ki Djana padaku dan Kemala.
"Ah, tapi jika hanya untuk menemani berbicara, tidak apa-apa. Ladeni saja," tambah Ki Djana.
Kami mengangguk. "Baik Ki."
Namun tiba-tiba, Kemala seperti sempoyongan. Membuang Ki Djana panik.
"Hey! Ada apa denganmu?!" tanya Ki Djana panik. Aku yang memegangi Kemala, langsung mengecek dahinya.
"Sepertinya, ia demam Ki," ucap ku. Ki Djana menghela nafas lelah, kemudian menatap kami berdua.
"Suruh ia beristirahat saja. Merepotkan," ucap nya kemudian pergi dari tempat itu. Setelah keberadaan Ki Djana menghilang, aku mengacungkan jempol ku pada Kemala.
"Bagus Kemala!" Puji ku.
Kemala memang ku suruh berakting, agar ia bisa beristirahat dan tak usah melayani tamu.
"Kau serius mau sendiri saja? Aku iku—"
"Tidak usah, Kemala. Aku bisa sendiri," kata ku kemudian. Kemala menghela nafas, kemudian mengangguk dan memilih untuk kembali ke kamar sendiri. Kini, malam telah tiba. Tempat ini mulai beroperasi. Makin malam, maka akan semakin ramai. Tempat ini menjadi saksi bisu cinta semalam serta nafsu duniawi bercampur menjadi satu.
"Ajeng!" Seru seseorang. Aku menoleh dan mendapati Rasmi memanggil ku.
"Apa kata Ki Djana?" tanya nya.
"Aku disuruh ikut mencoba melayani tamu, namun hanya sekedar menemani belum benar-benar 'melayani'," jelas ku.
Rasmi mengangguk. "Tapi kenapa kau tidak berdandan? Eh? Apa aku belum memberitahu mu jika mau melayani tamu harus berdandan?" tanya Rasmi.
Aku menggeleng. Ia buru-buru menggandeng ku ke sebuah ruangan yang berisikan cukup banyak perempuan yang sedang berdandan. Memilah milih selendang, perhiasan bahkan kain jarik.
Tentu, atensi mereka teralihkan pada diriku.
"Semuanya, perkenalkan ia Ajeng, anak baru. Ia disuruh Ki Djana untuk ikut mencoba menghibur tamu," jelas Rasmi. Mereka kemudian menyambut ku dengan senyuman ramah, dan hangat. Mereka bahkan membantu ku berdandan, dan mengatur rambut ku yang biasanya sulit diatur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...