"Sudah ngomongin aku nya?"
Hayam berdiri di belakang kami dengan raut wajah kesal. Wira tersenyum kaku.
"Bukan begitu maksud ku, kita-"
"Iya, kami ngomongin kamu. Kenapa memangnya?" Tanya ku berani. Hayam hanya menghela nafas kemudian berlaku melewati kami. Ia mengambil kendi berisi air minum kemudia ia tuangkan ke cangkir.
Dia kemudian memberitahu bahwa Mahapatih Gajah Mada sedang dalam perjalanan menuju Tumapel.
"Lalu, kata Wira besok kita akan bersiap kembali ke Trowulan? Lantas?" Tanya ku.
"Terundur. Ada beberapa pekerjaan lagi," balas Hayam kemudian.
"Derana, Mahapatih nanti ingin bertemu dengan mu," ucap Hayam. Aku terlonjak kaget. Seorang Mahapatih Gajah Mada yang itu? Meski aku tidak terlalu mengerti mengenai sejarah, tetapi aku sangat tahu siapa beliau. Beliau adalah orang yang mengucapkan sumpah Palapa dan menyatukan hampir seluruh Nusantara.
Tentu suatu kehormatan bagi ku. Bagaimana rupa nya? Yang ku lihat dari patung peninggalan ia terlihat seperti bapak bapak. Tapi, bagaimana wajah asli nya? Apakah memang seperti itu?
"Oh iya, sekalian nanti persiapkan kedatangannya. Sambut ia dengan beberapa makanan yang enak. Ia mungkin akan singgah sebentar disini," tambah Hayam.
"Beliau akan menginap?" tanya ku.
"Tidak. Ia hanya singgah sebentar," ucap Hayam. Ia kemudian mendekat padaku, kemudian menepuk pundak polos ku. Ketika tangannya menyentuh kulit ku, aku dapat merasakan kehangatan sentuhannya.
Kemudian, wajah nya kian mendekat. Sampai nafas nya bisa terasa di telinga ku. Ia berbisik halus pada ku.
"Aku mengandalkan mu," bisik Hayam halus.
Kemudian, ia pergi berlalu sambil tersenyum. Wira yang menjadi saksi proses pdkt Hayam pada ku kini cengar-cengir.
"Yah, bocah salting yah..." Ejek Wira setengah tertawa.
Aku menatap tajam ke arah nya, namun tak bisa dipungkiri pipi ku telah berubah semerah tomat.
"Gue yakin, gak lama dari sekarang lo bakal luluh," ucap Wira.
"Yang gue lihat, dari awal lo itu sebenarnya udah tertarik sama dia, apalagi sama tampangnya. Beuh.... Tampangnya dia ganteng nya gak ada obat. Orang paling ganteng se-Majapahit, engga se-nusantara deh," oceh Wira.
"Gue saranin, dari sekarang lo persiapin hati sama mental lo, takut kena serangan kayak tadi," saran Wira sambil tertawa.
"Makasih buat sarannya tapi lo nyebelin. Udah ah, gue mau siap-siap, lo mending sana temenin Yunda," usir ku halus.
"Iya, iya bawel. Hati-hati nant—"
"UDAH SANA PERGI LO!"
Wira tertawa seraya melenggang pergi meninggalkan ku. Memang, dasar tukang godain orang!
***
Mahapatih Gajah Mada datang sendiri dengan kuda gagah yang ia tumpangi. Terdapat basa-basi sebentar ketika ia datang tepat didepan Pesanggrahan.
"Terimakasih Paman Mada sudah mengurus pekerjaan ku yang ku tinggalkan," kata Hayam.
"Itu bukanlah masalah besar daripada kontribusi Yang Mulia disini," ucap Mahapatih Gajah Mada sambil tersenyum.
Sesekali aku mencuri pandang, untuk melihat rupa dari Mahapatih. Sejujurnya aku merasa sedikit terpana meski terlihat sudah agak berumur, namun tak melunturkan wajah tegas dan gagah nya. Namun, aku dengan cepat menundukkan kepala, karena tidak sopan menatap seseorang yang kasta nya diatas ku.
Aku dapat merasakan Mahapatih mendekat pada ku. Sampai, aku yakin kini ia tengah berdiri di hadapan ku.
"Kau, pelayan Putri Sudewi yang ikut berkontribusi juga kan? Siapa namamu? Kau juga boleh mengangkat wajah mu," kata Mahapatih pada ku.
Aku mengangkat wajah ku perlahan, kemudian memperkenalkan diri.
"Saya Derana, Yang Mulia Mahapatih," ucap ku.
"Sebelumnya terimakasih telah berkontribusi. Berkat mu, kini para bandit sudah ditumpas. Hm... Apakah kamu berniat untuk masuk ke Bhayangkara? Ku dengar kau menghajar para bandit itu dengan mudah? Sulit untuk menemukan tenaga kerja yang terampil, maka dari itu apakah kau—"
"Cukup Paman. Aku tidak akan mengizinkan Derana untuk masuk ke pasukan Bhayangkara. Bahaya. Dia sudah menjadi pelayan bagi Yunda Sudewi," kata Hayam agak ketus.
Padahal beberapa waktu yang lalu ia yang menanyakan aku mau masuk Bhayangkara atau tidak.
Mahapatih yang melihat Maharaja nya tidak seperti biasanya menyipitkan mata nya kemudian tertawa kecil.
"Lihat Derana, seorang Maharaja bijak tak mau menempatkan seseorang yang terampil masuk ke dalam pasukan khusus, ku yakin pasti—"
"Paman!" Interupsi Hayam dengan nada seperti anak yang merajuk pada orang tuanya.
Mahapatih kembali tertawa lantas kami berpindah tempat. Hayam, Wira, serta Mahapatih akan membahas pekerjaan selanjutnya. Sedangkan aku dan Yunda kini tengah berada di kamar. Aku sedang menceritakan kembali 'serangan' yang dilancarkan Hayam.
"Serius, dia melakukan itu? Sungguh tidak dapat dipercaya!" Seru Yunda keras, namun dengan segera aku meminta nya mengecilkan volume suaranya. Ia meminta maaf sambil tertawa.
"Tapi, bukannya kau tertarik dengan Hayam?" Tanya Yunda.
"Jujur saja, aku tertarik dari tampangnya. Gadis mana yang tidak tertarik dengan wajah tampan nya. Serta kepribadian nya juga. Namun..." Ucap ku terjeda. Yunda menaikkan satu alisnya.
"Namun?"
"Ya, hanya sekedar itu. Tidak lebih. Aku menyukainya tanpa ada unsur cinta," jelas ku.
Yunda tersenyum. "Mungkin lebih tepatnya belum? Kita tidak akan pernah tahu kedepannya bagaimana kan? Lagipula, Hayam sudah mendeklarasikan bahwa ia akan berjuang sampai membuat mu luluh kan? Hey Derana, bocah itu, maksudku Hayam, dia pasti akan berusaha sekeras mungkin jika ia sudah berniat seperti itu. Sebab, apa yang inginkan pasti ia akan usahakan sekuat tenaga agar dapat ia miliki. Termasuk dirimu," kata Yunda.
"Kau, pasti memikirkan banyak hal juga kan? Beberapa pertimbangan serta konsekuensi, kau mempertimbangkan bagaimana kedepannya. Tapi, saran ku, jangan terlalu berpatok pada masa depan saja. Kau juga harus menikmati masa kini. Ingat itu," tambah Yunda. Aku mengangguk sebagai respon.
Tapi kemudian Yunda tersenyum jahil. "Aku jadi tidak sabar menantikan apa yang selanjutnya akan dilakukan oleh bocah itu demi mendapatkan mu."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...