Butuh memakan waktu banyak untuk sampai ke Tumapel. Dan sekarang, disinilah aku. Di sebuah pantai di Tumapel. Aku merentangkan tangan lalu menghirup udara dalam-dalam. Pada masa ini, udara terasa sangat sejuk. Ya, sebab karena belum ada polusi. Aku menoleh ke arah kanan ku, melihat Wira dan Yunda sedang bermain ombak sambil tertawa bahagia, aku juga ikut tersenyum kala melihat mereka. Meski kadang aku iri melihat ke-uwu-an mereka.
"Seperti nya kau senang sekali," ucap Hayam menghampiri. Ia menghampiri ku dengan pakaian sederhana. Malah nampak tidak seperti seorang Raja besar.
Aku menoleh lalu tersenyum. "Aku teringat sesuatu."
"Teringat apa?"
"Ini pertama kalinya aku ke pantai setelah beberapa tahun. Kami sekeluarga terlalu sibuk untuk sekedar liburan ke pantai, makanya aku senang, aku bisa menginjakkan kaki di pasir pantai lagi," kata ku. "Terakhir kali aku ke pantai waktu itu ketika orangtuaku masih ada."
"Jadi orangtuamu—"
"Iya. Mereka sudah meninggal. Karena sebuah kecelakaan," ucap ku.
"Kecelakaan kereta kuda?" Tanya Hayam. Ah, di masa ini tidak ada mobil. Aku hanya mengangguk samar.
"Apa kau sudah lebih banyak mengingat tentang masa lalu mu? Ku dengar dari Yunda, kau lupa ingatan," kata Hayam.
"Yah, sudah banyak yang ku ingat," kata ku sambil tersenyum. Sejujurnya aku agak merasa bersalah karena telah berbohong.
"Nikmati waktu mu Derana. Kita disini untuk melepas penat," ujar Hayam tersenyum manis pada ku seraya menepuk bahu ku. Ketika tangan nya menyentuh bahu ku yang polos, aku merasakan hal aneh. Ah, entah mengapa aku jadi deg-degan melihat senyum manis nya.
Sial, pria tampan ini nampak sangat sangat tampan kala tersenyum. Mungkin, orang akan langsung jatuh cinta ketika melihat pria ini tersenyum.
Aku bermain dengan ombak, sampai aku keasyikan dan tak sadar Hayam dan Yunda sudah tidak ada ada di sekitar pantai.
Wira menghampiri ku, dengan berlari kecil. "Kita bakal nemuin Tumenggung daerah sini, biasa ngasih salam. Sebentar aja kok. Hayam nyuruh gue kesini buat kasih tahu lo."
"Sekarang nih?"
"Lo liat Hayam sama Sudewi udah gak ada ya karena mereka mau siap-siap," kata Wira.
"Oke, gue susul Yunda dulu deh."
Ketika aku menyusul Yunda, ternyata Yunda sedang memilih warna selendang. Ia masih bingung untuk memilih warna selendang apa yang ia akan pakai.
"Kuning atau merah?" Tanya Yunda.
"Yang merah saja, yang merah membuat Yunda kelihatan semakin cantik," puji ku. Muncul semburat merah pada pipi Yunda.
"Kau bisa saja."
Aku tertawa renyah menanggapi Yunda. Lalu setelah semua beres, kami keluar dan mendapati Hayam dan Wira sudah menunggu.
Kami naik kereta kuda dan sesampainya setelah turun dari kereta kuda, kami telah disambut oleh Tumenggung daerah setempat yang bernama Tuan Ganendra. Tuan Ganendra menyambut kami dengan tangan terbuka.
"Hormat hamba untuk yang Mulia Sri Rajasanagara dan Yang Mulia Putri Sudewi. Selamat datang di wilayah ku, silahkan masuk mari kita berbincang di dalam," ucap Tuan Ganendra sambil tersenyum. Di dalam para pelayan Tuan Ganendra telah menyiapkan banyak hidangan untuk menjamu Raja besar yang bukan lain Hayam. Kami kemudian masuk ke dalam rumah Tuan Ganendra yang terlihat mewah untuk seukuran zaman itu.
"Wira," panggil Hayam. Si empunya nama pun berjalan mendekati Hayam. Hayam membisikkan sesuatu, yang kemudian diangguki oleh Wira. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, mungkin sesuatu yang penting. Karena yang ku perhatikan raut wajah mereka sangat serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...