"Rajendra ya ampun! Jangan menggoda anak orang!" Seru Wira. Wajahku kini suda seperti kepiting rebus pasti. Ah ini salahnya karena memiliki wajah tampan.
Rajendra menaikkan satu alisnya. "Aku tidak menggoda nya. Aku hanya mengatakan bahwa ia tak bisa makan dengan rapih dan aku hanya mengelap sisa kuah yang berada di ujung bibir nya."
Iya, tapi kayak gini tuh berdamage banget.
Yunda Sudewi tertawa kecil melihat wajahku yang memerah.
"Sudah, sudah ayo makan," interupsi Yunda Sudewi.
Sambil makan, sesekali kami berbincang ringan. Untuk obrolan, Wira yang paling mendominasi. Ia yang selalu memulai topik, sedangkan Yunda akan selalu menanggapi nya. Sedangkan Rajendra sesekali menimpali, namun ia adalah pendengar yang baik.
"Ah, setelah berlibur ke Trowulan mungkin aku akan ke Tumapel. Aku ingin ke pantai," ungkap Sudewi.
"Wira, kau mau ikut?" Tawar Yunda semangat. Wah, wah, aku merasakan ada sesuatu antara Yunda dan Wira. Rajendra menaikkan alisnya.
"Kau hanya mengajak Wira? Tidak dengan ku?" Tanya Rajendra. Yunda Sudewi menghela nafas.
"Iya, kau juga ku ajak," tambah Yunda Sudewi.
Tumapel ya? Kalau tidak salah Tumapel itu adalah nama lama dari kota malang kan ya?
Lumayan dapat previlege jalan jalan. Ya, perbincangan kami hanya seputar itu saja. Fun fact nya, entah mengapa aku merasa antara aku dan Wira kami se-frekuensi."Ku dengar anak dari tumenggung di daerah Daha sangat pintar. Sayangnya, ia adalah seorang perempuan dan akan dinikahkan oleh seorang bangsawan dari daerah Pajang," ujar Rajendra.
"Ah, aku kenal dengannya! Aku beberapa kali bertemu dia jamuan. Ia sangat cantik dan pintar! Sayang, ia akan dinikahkan dengan seorang laki-laki tua berkepala 4. Padahal, ia sangat menyukai politik," sahut Yunda.
"Jika dia menjadi anggota dewan di keraton, pasti karir nya bagus! Ah sayang sekali. Yah mau bagaimana lagi, memang kodrat perempuan hanya seperti itu. Menjadi cantik, dinikahkan, mempunyai keturunan, mengurus suami serta keluarga," tambah Yunda dengan tatapan miris.
"Aku pun juga begitu," gumam Yunda.
"Kenapa dia tidak mengejar mimpinya? Apa salahnya seorang perempuan mengejar mimpinya?" Tanya ku dan Wira bersamaan. Kami saling berpandangan, seolah kami punya kontak batin.
"Kalian seperti nya sangat serasi yah jika masalah seperti ini?" Tanya Yunda. Kami tertawa kecil untuk menanggapi nya.
Ketika makanan kami telah selesai, Yunda dan Wira pamit pada kami berdua. Maksudnya pada ku dan Rajendra.
"Kami ingin membicarakan sesuatu, Derana kau pulang sendiri ya?" Tanya Yunda.
"Memang nya Yunda mau kemana? Terus sama Wira lagi?"
"Kami ada urusan," sahut Wira.
"Mereka itu mau kencan tahu," bisik Rajendra padaku. Ah, begitu rupanya. Aku tersenyum kecil.
"Aku bisa pulang sendiri kok," ucap ku seraya menekankan kata sendiri.
"Akan ku antar," kata Rajendra. Aku menoleh. "Tenang saja kau akan aman jika dijaga oleh ku."
"Eh tidak perlu, pasti merepotkan. Aku bisa sendiri, lagi pula di tengah keramaian ada pengawal yang mengawasi. Jadi—"
"Aku tidak suka ditolak."
"Baiklah..."
Yunda tersenyum jahil pada ku dan Rajendra. Mereka berdua pamit dan segera pergi meninggalkan kami berdua. Lantas aku pun pulang diantar Rajendra. Di perjalanan, kami berbicara banyak hal.
"Entah mengapa aku bisa merasakan ada sesuatu yang sama antara dirimu dan Wira," ucap Rajendra. Aku menaikkan alis.
"Maksudnya?"
"Yah, dari cara bersikap kalian, dan pemikiran kalian, kalian sangat serasi. Tak banyak orang di Majapahit yang mendukung perempuan untuk terjun ke dunia politik. Tetapi Wira dengan pemikiran unik nya serta kau berbeda. Ini suatu yang tidak biasa. Aku dengar dari Yunda, kau ini tipe orang yang tidak terlaku menekan kasta ya?"
"Ya, menurut ku posisi kita di hadapan sang pencipta sama saja. Kita sama sama manusia. Prinsip ku selama ia masih manusia, aku tidak akan takut. Meski dia memiliki kasta diatas ku, aku tidak akan takut.
"Makanya, kata Yunda ketika aku pertama kali bertemu Yunda aku terlihat tidak sopan. Di tempat dulu ku tinggal, kami tidak hidup dengan kekangan kasta. Kami hidup bersama. Yah, meski tidak ada kasta masih ada sekat pembeda kita, namun itu tidak menjadi halangan."
Tiba-tiba aku terdiam.
Apa aku terlalu oversharing yah?
"Memang nya kau berasal darimana? Kerajaan mana?" Tanya Rajendra. Ah, sial. Lambe ku ini memang tidak bisa di rem.
"Ah, itu aku lupa darimana aku berasal. Aku hanya mengingat nama ku, dan beberapa hal saja. Mudah nya aku hilang ingatan, dan kebetulan aku ditolong oleh Yunda dan aku diberi pekerjaan di sini. Aku sangat berterimakasih padanya," jelas ku. Haduh, hampir saja.
Tak terasa, aku telah sampai di depan rumah Yunda.
"Oh iya, sampaikan pada Yunda Sudewi, Ayah nya menyuruh nya pindah ke keraton. Seminggu lagi akan ada jamuan antar keluarga kerajaan," kata Rajendra. Aku mengangguk. "Akan ku sampaikan."
"Derana, suatu keberuntungan aku bisa bertemu dengan mu. Aku sangat menikmati pembicaraan dengan mu," ungkap Rajendra.
"Boleh kah, aku terus menjadi teman mu?" Tanya nya. Aku tersenyum kecil.
"Tentu saja! Kau yang bilang sendiri jika kita ini teman."
"Tapi, jika suara saat kamu bertemu dengan sisi diriku yang lain, akan kah kau tetap berteman dengan ku? Apa kah kau akan menjauhi ku?"
Sisi dirinya yang lain? Maksudnya? Dia kepribadian ganda gitu? Emang ada ya pas zaman purba gini kepribadian ganda?
"Kau seharusnya sudah tahu dari awal ketika melihat aku dengan Yunda. Aku tahu dia anggota keluarga kerajaan, tapi apakah aku menjaga jarak dengannya?" Tanyaku.
Lantas, Rajendra tertawa kecil. "Hahaha, iya juga ya. Aku melupakan fakta itu."
"Ya sudah, kalau begitu aku pamit," pamit Rajendra. Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan."
Rajendra berjalan menjauh, aku baru beranjak pergi ketika punggung Rajendra sudah tak terlihat lagi. Mimpi apa ku semalam, punya teman yang ganteng nya kayak model?
Serius, Rajendra memang seganteng itu. Aku juga cukup tertarik padanya. Sisi misterius dan kalem nya membuat ku tertarik padanya. Kapan aku bisa menemuinya lagi ya?
***
Jangan lupa buat votment! Share cerita ini biar banyak yang tahu yh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...