Aku membuka mata ku perlahan, lalu menyesuaikan cahaya yang masuk. Gaduh gaduh ku dengar suara helaan nafas lega serta ucapan bersyukur.
Aku melihat keseliling, Yunda Sudewi, Wira, serta Hayam duduk mengelilingi. Oh, tangan ku digenggam erat oleh Hayam. Pasti ia khawatir.
"Syukurlah, kau sudah bangun! Sungguh, aku sangat khawatir! Lima hari lalu Hayam membopong mu kembali dengan kondisi berdarah dan tak sadarkan diri," ucap Yunda Sudewi cemas.
Aku tersenyum kecil, "Maaf untuk kesekian kalinya. Aku membuat khawatir."
"Kan. Udah gue bilang apa, ujung ujungnya pasti gini. Ini nih yang gue khawatir," tambah Wira, "Lo pake segala kekeuh, ngeyel."
"Sorry, gue gak expect bakal separah ini," balas ku.
"Sumpah, hari itu lo bikin gue sama yang lainnya panik setengah mati, Derana. Emang kurang ajar lo," kata Wira lagi.
"Maki aja gue terus ampe lo gumoh, orang lagi sakit di maki," balas ku lagi.
"Ya gue maki lo karena gue khawatir, bego," ujar Wira. Apa apaan? Apakah ini cara baru untuk mengungkapkan kekhawatiran?
"Bisa tinggalkan aku dengan Derana?" tanya Hayam menginterupsi. Wira bersama Yunda Sudewi pergi meninggalkan ruangan tersebut, dan memberikan ku dan Hayam ruang.
"Ini yang terakhir aku melibatkan mu," ucap Hayam dalam.
"Selama lima hari kau tidak sadar, aku merasa bersalah. Memang semua nya berjalan lancar seperti yang ku mau. Dan bisa dikatakan rencana kita berhasil. Tapi, buat apa rencana ini berhasil jika aku kehilangan mu, Derana? Sebelum nya aku sangat berterimakasih sudah membantu jalan nya rencana ini. Tanpa mu, semuanya akan rumit.
Tapi, tolong. Ini yang terakhir kalinya kau ikut terlibat. Di kemudian hari, sekeras apapun kamu bertekad, aku tidak mengizinkan mu untuk terlibat. Sebab, rasa takut ku akan kehilangan mu sangat besar."
Hayam berucap panjang lebar. Aku hanya terdiam mendengarkan nya. Aku menunduk.
"Maaf."
Hayam mendekap ku hangat, "Hm. Aku merindukan mu."
"Aku tidak pergi kemana mana."
Hayam mendengus pelan, "Tapi kau tidak sadar. Kau tertidur lelap lima hari. Aku hanya bisa melihat mu terlelap tanpa bisa mendengar suara mu. Ini menyebalkan kau tahu?"
"Hahaha, bisa saja. Hm? Pipi mu kenapa lebam? Ujung bibir mu juga robek?" tanya ku sambil meneliti wajah Hayam.
"Wira memukul ku."
Aku membelalakkan mata kaget. Sialan anak itu. Ia benar benar memukul Hayam? Ada gila gila nya bocah itu. Seharusnya ia tercatat sejarah sebagai satu-satunya orang yang membuat Raja besar Majapahit babak belur tapi tak dihukum.
"Sudah diobati?" tanya ku.
"Hm, Yunda sudah mengobati."
Hayam kini beralih menggenggam tanganku erat.
"Kau tidur saja, Derana. Aku akan menunggu disini sambil memegang tangan mu."
Mata ku membulat, "Tidak usah, Hayam. Pasti banyak hal yang kau urus."
"Sudah ku selesaikan. Selepas kau sembuh, baru kita kembali ke Trowulan. Semua pekerjaan telah selesai," jelas Hayam.
"Para pekerja disana, bagaimana mereka?" tanya ku.
"Mereka diberi pilihan, apakah mau hidup bebas, atau bekerja di keraton. Kebanyakan mereka memilih hidup bebas, namun ada juga yang memilih untuk ikut ke keraton untuk bekerja sebagai pelayan," kata Hayam. Aku ber-oh ria. Aku jadi teringat janji ku pada Hayam. Setelah ini selesai, aku harus segera menjawab perasaan nya. Rasanya aku butuh saran lagi. Aku pun berniat untuk meminta saran pada Wira dan Yunda Sudewi. Meski aku sudah bisa menebak Wira akan berkata apa, tapi tak apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...