Keesokan harinya, aku dan Yunda serta mas pengawal bersiap untuk pindah ke keraton. Kami dijemput oleh kereta kuda yang cukup mewah, mengingat Yunda adalah seorang keluarga kerajaan.
"Setelah sampai di keraton, kita harus menghadap Yang Mulia Raja dulu. Kita harus menyapa nya," kata Yunda. Aku mengangguk.
"Sebelumnya kau penasaran kan, siapa Rajendra dan Wira?" Tanya Yunda.
"Ya. Memang apa hubungannya dengan kita pindah ke keraton Yunda?" Tanya ku. Yunda tersenyum. "Nanti kau juga akan tahu. Aku harap setelah kau tahu nanti, kau masih bisa tetap memandang mereka sama."
Aku mengerutkan dahi bingung. Setelah beberapa waktu perjalanan kami sampai di keraton. Baiklah, saat nya kita bersikap formal. Aku turun dari kereta kuda, kemudian berjalan di belakang, mengikuti arah Yunda berjalan. Barang-barang akan di urus oleh mas pengawal. Disana, aku sudah melihat seorang pria dan wanita yang sudah berumur, dengan pakaian mewah nya. Aku terus menunduk, agar terlihat sopan.
"Selamat datang kembali, putriku," ucap wanita itu seraya memeluk Yunda. Yunda balas memeluk nya. Kalau tidak salah, ibu Yunda itu Dyah Wiyat atau dikenal dengan gelar Rajadewi Maharajasa. Sedangkan, Romo (Ayah) Yunda adalah Wijayarajasa atau dikenal juga Bhre Wengker.
"Aku pulang, Ibunda."
"Ya, anakku, bagaimana liburan mu? Apakah kau senang?" Tanya Bhre Wengker a.k.a Romo Yunda. Ia lantas memperhatikan ku.
"Jadi dia yang menggantikan Sundari? Siapa nama mu?" Tanya nya.
"Hamba Derana, Ndoro ayu sudah banyak membantu hamba, maka dari itu hamba dengan senang hati melayani Ndoro ayu," ucap ku lugas. Sempat ku lirik Yunda yang menatap ku speechless.
"Baiklah, kalau begitu. Bekerjalah dengan baik. Jaga putri ku baik-baik."
"Nggih, Yang Mulia."
Rajadewi a.k.a Ibu Yunda tersenyum padaku. "Terimakasih sudah menjaga putri ku. Dia pasti sangat merepotkan ya?"
"Ibunda!"
Aku tersenyum kecil. "Tidak, Ndoro Ayu sangat baik dan berhati mulia. Hamba bahkan takjub dengan kemuliaan hatinya."
Yunda hampir tertawa ketika aku berbicara seperti itu. Mengingat bagaimana sikap ku selama ini yang dikenal nya. Lantas orang tua Yunda segera berlalu karena masih ada pekerjaan yang menanti. Ah, capek juga bersikap seperti ini.
"Derana, sebelum menyapa Yang Mulia Raja aku ingin ke kolam ikan. Aku ingin melihat ikan," ucap Yunda mengajakku.
"Nggih, Ndoro," jawab ku seraya menunduk.
"Ah, karena kita sudah berdua bersikap lah seperti biasanya. Aku lelah menahan tertawa saat kau bersikap formal seperti itu."
"Ahahaha, baiklah Yunda."
Ketika di dalam keraton, mas pengawal seperti nya sudah tak mengawal kami. Sehingga kini hanya tersisa aku dan Yunda. Aku mengikuti Yunda, sembari memotret bentuk keraton dengan handphone ku. Oh iya, entah mengapa handphone ku masih bisa berfungsi dan baterai nya tetap stuck di 76 persen.
Yah, ini suatu keuntungan untukku. Namun, sayang disini benar benar tidak ada jaringan.
Kemudian, aku tersadar bahwa aku telah terpisah oleh Yunda. Aku terlalu sibuk memotret sehingga tertinggal oleh Yunda. Atau mungkin aku mengambil jalan yang salah. Aduh, gimana ini? Aku baru pertama kali ke keraton, eh malah nyasar.
Andai, ada google maps, mungkin aku tidak akan kesusahan seperti ini. Aku celingak-celinguk melihat keseliling. Ada taman bunga yang indah. Apa aku kesana saja ya?
Aku pun sebenarnya penasaran, dan pada akhirnya aku berjalan menuju taman tersebut. Di taman tersebut banyak bunga-bunga indah bermekaran. Aku memetik salah satu nya, kemudian menyelipkan nya ke telinga ku. Lantas aku membuka aplikasi kamera yang berada di handphone ku, lantas memotret diri ku sendiri.
Namun, sebuah suara dari arah belakang menginterupsi ku. Yang mana, membuat ku kaget dan menjatuhkan handphone ku.
"Derana?"
***
Jangan lupa untuk votment, dan share cerita ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...