Chapter 29

2K 188 2
                                    

"Kalian sedang apa?"

Kamu menoleh bersamaan, mendapati Rasmi berdiri di belakang kami.

"Ra—rasmi,"

Rasmi mendekati, dan berbisik pelan.

"Ternyata, kamu sudah menemukan apa yang ku bilang tadi siang. Kunci nya ada di kendi ke lima dari kanan  yang berada di dapur. Cepat lah kesana," bisik Rasmi.

Sungguh, Rasmi kau sangat membantu sekali. Aku tersenyum.

"Terimakasih banyak, Rasmi."

Ia mengangguk. "Hati-hati, jangan sampai ketahuan."

Ia berlalu, aku segera bersama Hayam untuk ke dapur. Dapur tengah sepi, tidak ada seorang pun yang lewat.

"Tadi dia bilang apa? Kendi ke 5 dari mana?" Tanya ku pada Hayam.

"Dari kanan," ucap Hayam.

Aku kemudian mengecek, dan benar. Kunci itu tersimpan rapih disitu. Aku mengambil nya dan bersorak girang. Kami pun segera bergegas ke ruangan tadi, dan membuka ruangan tersebut. Kami kemudian sengaja mengunci dari dalam agar seseorang tak bisa membuka.

"Derana, kemari," kata Hayam memanggil ku, ia menunjuk pada kotak penyimpanan. Terdapat beberapa bubuk putih dibungkus daun.

Sial, itu narkoba.

"Ku rasa pengedar obat terlarang tak hanya satu. Tapi banyak, dan Ki Djana salah satunya. Ambil itu untuk barang bukti," ucap ku. Hayam mengangguk. Ia juga menggeledah beberapa rak dan menemukan perkamen berisikan kontrak penyerahan obat terlarang tersebut, dan kontrak penyerahan para perempuan yang dijadikan pelacur.

"Bagaimana Hayam?" Tanya ku.

"Segini sudah cukup. Bukti sudah sangat jelas, kita bisa menarik ini ke pengadilan. Satu kena, semua kena imbas. Sekarang, kita hanya perlu menentukan waktu untuk menangkap mereka semua," jelas Hayam.

"Mari kita obrolkan sisanya diluar, kita keluar dari sini dulu," ucap ku.

Semua terasa lancar, dari mengembalikan kunci ke dapur, dan lain lainnya. Bahkan untuk memberikan bukti perkamen kepada Wira yang menunggu di depan juga lancar. Justru aku curiga, ini terlalu mudah.

"Dimana kita akan mengobrol?" Tanya Hayam.

"Tadi kan kau sudah pesan kamar, disana saja," kata ku dengan enteng. Entah bagaimana, Hayam terdiam.

"Kamu, yakin, Derana? Aku—"

"Kenapa? Sayang dong, kan kamu sudah menyewa itu untuk semalam. Lagipula, lebih aman mengobrol disana, tidak rawan di dengar oleh orang lain," kata ku.

"Aku takut Derana."

"Buat apa kau takut, Hayam? Tidak akan ada dedemit disana," kata ku lagi.

"Aku takut pada diriku sendiri, Derana."

Aku menelisik ekspresi Hayam. Wajah nya memerah, bahkan telinga nya juga memerah. Ada apa ini? Aku mendekat kan diriku pada Hayam.

"Hayam?"

"Ku tanya sekali lagi, yakin mau disana?" Tanya nya.

"Yakin. Lagipula kita kan hanya mengobrol, tidak akan berbuat apa-apa," kata ku.

"Tenang saja Hayam, jika kamu takut pada dirimu yang tidak bisa menahan diri, aku bisa membogem mu," ucap ku.

"Membogem?"

"Ya, membogem," ujar ku sambil mengangkat sebuah kepalan. Ia kemudian mengangguk mengerti. Kami pun masuk ke dalam kamar, dan duduk di sebuah kasur.

"Aku, setiap waktu khawatir pada mu. Aku gelisah, apakah kau baik-baik saja disini," kata Hayam yang duduk di ujung kasur.

"Terimakasih sudah mengkhawatirkan ku. Jadi, kapan kau akan mulai bergerak menangkap mereka. Jangan beri uluran waktu yang lama. Jika bisa besok, ya besok saja. Aku muak, tak mau disini lebih lama. Meski baru hari ini aku tinggal disini, aku sudah muak, mata ku ternodai soalnya," jelas ku panjang lebar.

Hayam tertawa kecil. "Siapa yang berkeras kepala untuk ikut dalam rencana?"

Aku berdecih pelan melirik pada Hayam yang masih tertawa kecil. "Iya, memang sih itu kemauan ku."

"Paling lama, lusa. Sepulang dari sini, aku akan segera mengurus nya. Sebisa mungkin, besok malam penangkapan sudah terlaksana. Tapi, jika diundur ya paling lusa. Kamu bisa kan bertahan disini?" Tanya Hayam. Aku mengangguk.

"Bagaimana, disini?" Tanya Hayam kemudian.

"Disini, banyak perempuan yang menyedihkan. Mereka dipaksa oleh keadaan, oleh keluarga untuk berakhir di sini sebagai pelacur. Aku ingin, membebaskan mereka. Meski mereka tersenyum, aku tahu, mereka melakukan ini semua terpaksa," kata ku kemudian.

Hayam mengusap kepala ku lembut sambil tersenyum. Diberi sentuhan seperti itu, membuat ku menoleh dan menatap mata Hayam. Mata teduh yang menenangkan hati.

"Kamu memiliki hati yang baik. Tak hanya rupa, hari mu sebaik ini, Derana."

Aku terbawa suasana sesaat. Cepat cepat aku mengalihkan pandangan ku pada Hayam.

"Kapan, kau pulang? Wira pasti menunggu," kata ku.

"Kau mengusirku?" Tanya Hayam dengan tawa kecil.

"Tidak. Aku hanya berpikir, mungkin Wira menunggu mu diluar, kasihan jika dia menunggu terlalu lama," ucap ku pelan.

"Derana, kau bisa mengkhawatirkan Wira yang menunggu lama, apakah tidak dengan ku?" tanya Hayam kemudian.

Aku menutkan alis ku. "Maksud mu? Aku tidak mengerti."

Hayam kini menatap ku lekat, "Apakah kau tidak kasihan pada ku yang telah menunggu mu lama? Butuh berapa banyak lagi yang harus ku lakukan untuk meyakinkan jika aku benar benar menyukai mu? Lantas, kapan kau akan membalas perasaan ku? Ku pikir aku telah menunggu itu lama," ucap nya panjang lebar. Aku tercekat mendengar nya, sebab aku tak menyangka percakapan akan mengarah kesini.

"Ketika masalah ini selesai, aku akan menjawab nya," balas ku. Aku juga jadi berpikiran bahwa aku sudah terlalu lama menggantung Hayam. Dan mungkin, ini sudah saatnya aku berterus terang padanya.

Mendengar itu, Hayam justru kaget. "Derana, kau serius?"

"Iya. Sudah jangan bertanya lagi. Lebih baik, kau pulang saja. Aku bahkan sudah mengantuk. Peraturan disini, jika pelanggan sudah pergi, kami bisa beristirahat," ucap ku.

Hayam kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu, namun ketika hendak dibuka, pintu tersebut tak bisa dibuka.

"Tadi, kau sempat mengunci nya tidak?" Tanya Hayam.

"Tidak."

"Pintunya, tak mau terbuka."

"Hah bagaimana?"

"Sudah ku katakan, pintunya tak mau terbuka."

Kami bertatapan. Sial kami terjebak di dalam sini.

***

vote dan comment nya juseyooo

Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang