Chapter 14

2.5K 228 1
                                    

Pada akhirnya aku dan Yunda pergi ke pasar. Aku sudah memperingati nya agar tak berlama-lama di pasar. Karena, jika kita ketahuan oleh Hayam dan Wira bisa habis kita sama mereka berdua.

"Hanya lihat-lihat saja ya, Yunda. Habis itu, langsung pulang," ucap ku pada Yunda. Yunda mengangguk mengiyakan.

Tapi, yang namanya perempuan pasti gelap mata. Sesampainya di pasar, Yunda langsung melihat lihat ke pedagang perhiasan.

"Kita beli ya, satu saja, ya?"

Aku menghela. "Ya sudah."

Janji nya sih cuma beli satu barang, eh... Sekarang sudah ada banyak barang yang ku bawa. Perhiasan, selendang, guci, vas.

"Ayo pulang Yunda."

"Ayolah Derana sebentar lagi."

"Yunda, dengar aku ya, masalahnya jika kita ketahuan pergi dari Pesanggrahan kita pasti kena omel dengan Wira dan Hayam. Apa Yunda mau?"

Yunda mengerucutkan bibirnya kesal. "Ya sudah ayo kita pulang."

Kami berjalan menyusuri jalan pasar yang terlihat ramai sebab, di desa sebelah ada festival panen raya. Meski festival di gelar di desa sebelah,  antusiasme dari festival tersebut terasa sampai ke desa ini.

Kami berjalan menuju ke Pesanggrahan, melalui jalan setapak yang terlihat sepi. Aneh, perasaan tadi lumayan ramai. Kok, jadi sepi?

Ketika kami berjalan, terdengar suara dari semak-semak. Aku terkesiap, takut nya ada hewan buas. Maklum zaman ini kan belum ada kebun binatang atau margasatwa untuk mengurus binatang buas.

"Yunda, berhati-hati. Tadi aku mendengar suara dari semak-semak, takutnya itu hewan buas. Aku akan berjalan terlebih dahulu. Yunda dibelakang ku, agar bisa ku lindungi," ucap ku pada  Yunda. Yunda mengangguk, sambil tertawa kecil.

"Seperti nya, kau juga cocok untuk masuk ke dalam pasukan Bhayangkara, Derana. Kamu kuat, dan bisa berkelahi. Sangat jarang melihat perempuan yang memiliki kemampuan bertarung," kata Yunda. Aku terkekeh pelan. Ya ini hanyalah hasil dari latihan beladiri ku selama ini bersama mendiang Ayah.

"Sejak dahulu, aku selalu berlatih beladiri dengan mendiang Ayah ku. Kata Ayahku meski aku seorang perempuan, aku tak boleh lemah dan harus bisa menjaga diri sendiri," ucap ku kemudian. Kami, harus melewati hutan sebentar sebelum sampai ke Pesanggrahan. Meski hari masih siang, tetap saja, karena sinar matahari terhalang dedaunan pohon alhasil suasana terlihat agak gelap.

"Hati-hati Yunda dengan bebatuan."

"Iya."

Srek srek

Aku berhenti berjalan, membuat Yunda ikut berhenti.

"Ada apa?" Bisik Yunda.

Aku menempelkan jari telunjuk ku pada bibirku. Samar-samar terdengar derap langkah yang bergesekan dengan daun-daun kering yang jatuh ke tanah. Aku menari mataku, dan memakai insting ku.

Aku merasakan seperti ada seseorang yang memerhatikan aku dan Yunda.

Tidak.

Bukan seseorang. Tapi ada lebih dari satu orang. Aku menelan saliva ku. Apakah kami sejak tadi sudah diikuti? Apa mungkin mereka para bandit yang dibicarakan itu? Melihat aku yang membawa berbagai barang yang terlihat mewah, pasti para bandit akan mengincar nya. Masuk akal.

"Yunda, aku rasa kita sedang diawasi, dan insting ku mengatakan bahwa tak lama lagi kita akan dicegat. Kemungkinan para bandit." Bisikku pelan. Yunda terlihat pucat.

"Ki–kita harus bagaimana?" Tanya Yunda.

"Yunda, bersiap untuk lari. Jika ku beri aba-aba, langsung lari. Aku akan mengikuti dari belakang."

"Ba-baik."

Satu, dua, tiga!

Kami langsung berlari sekencang mungkin, dan benar dari balik semak-semak ada sekitar 7 orang yang bersembunyi kini keluar dari penyembunyian nya dan mengejar kami.

"YUNDA MAAF!" Teriakku sambil berlari.

"UNTUK AP—GUCI DAN VAS KU!"

Ya. Bisa kalian tebak? Iya benar. Aku melempar guci berukuran sedang serta vas berukuran kecil tersebut ke arah para bandit yang mengejar. Agar aku dan Yunda bisa lolos dari mereka.

Namun, sial nya mata ku tak melihat ada akar yang melintang di depan kaki ku. Aku tersungkur di tanah. Bunyi jatuh ku membuat Yunda berhenti dan menoleh kebelakang.

"Dera—"

"Terus lari! Jangan pedulikan aku!"

Yunda juga dilanda ketakutan, mau tak mau ia menyelamatkan diri dengan terus berlari. Aku langsung bangkit dan berlari dengan kaki pincang. Seperti nya kaki ku keseleo. Sial, kenapa aku selalu sial?

Tak terduga-duga, ada sekitar 2 bandit yang memotong jalan, dan kini sudah berada di depan ku. Sial aku tercegat. Dari depan, dan dari belakang.

"Hey, kau sangat tidak sopan ya. Lihat kepalaku terluka karena kau!" Teriak salah satu bandit yang memang kepalanya terluka karena lemparan guci tadi. Namun, luka nya tidak parah, ia hanya tergores sedikit mungkin.

Aku tersenyum remeh. "Kau pantas mendapatkan nya."

"Dasar, wanita jalang! Kalian, angkut dia!" Perintah dari bandit yang terlihat sebagai bos mereka. Argh kenapa aku harus keseleo disaat seperti ini? Aku tak berdaya dan hanya bisa mengikuti mereka. Aku masih sayang nyawa ku, mereka bisa dengan mudah mengambil nyawaku. Namun, tiba-tiba salah satu orang memukul tengkukku dengan sangat kencang hingga aku tak sadarkan diri.

Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang