Aku merasa semuanya gelap. Aku tak dapat melihat apapun. Hal terakhir yang aku ingat hanyalah aku mengalami luka tusuk di pundak dan pingsan.
Tapi dimana diri ku sekarang?
Segala sisi kegelapan.
Tak ada cahaya sedikitpun.
Namun tiba-tiba terdengar seperti suara panggilan halus memanggil namaku.
Derana... Cah Ayu... Bangun nduk...
Namun dari segala sisi, aku tak dapat menemukan bentuk dari suara tersebut.
"Si-siapa?"
"Ini Ibu Cah Ayu, Kanjeng Ibu Ratu Kidul."
"Ratu kidul?"
Sumpah? Ratu kidul? Ratu kidul yang itu?
"Iya Cah Ayu,"
Perlahan, di depan mataku muncul seorang wanita cantik berpakaian serba hijau serta mahkota yang bertengger di kepalanya dengan wajah cantik khas Nusantara. Wangi melati yang kalem kini mencuat ke permukaan.
Beliau mengelus pipi ku lembut seraya tersenyum ramah.
"Kamu harus bangun Cah Ayu, banyak orang menunggu mu," ucap Ratu Kidul.
"Menunggu? Aku sendirian. Orang tua ku sudah tidak ad-"
"Kamu tidak sendiri. Kamu memiliki mereka. Teman-teman mu di Wilwatikta."
Aku mengerutkan kening. "Wilwatikta? Maksudnya Wira, Hayam, Yunda?"
Ratu kidul tersenyum manis seraya mengangguk. Terlintas sebuah pertanyaan di kepala ku. Mumpung bertemu Ratu Kidul.
"Sebelumnya, aku ingin menanyakan. Kenapa aku dan Wira ada disini? Ini bukan zaman kami."
"Kamu dan Wira terikat oleh suatu takdir. Takdir dari Sang Hyang Widhi, yang tak bisa dapat dibantah. Aku, dan entitas lain hanya membantu. Jika takdir ini tak terjalin tak akan ada masa depan seperti sekarang.
Ada beberapa yang 'nakal' dan hendak mengubah semuanya. Tapi ini tak bisa terjadi. Takdir harus tetap berjalan."
Pemahaman yang sulit bagi ku. Tapi intinya, jika aku tak berpindah ke Majapahit, maka masa depan seperti yang ada di buku tak pernah ada dan berubah. Begitu?
"Mungkin sulit bagimu untuk mengerti sekarang. Tak perlu tergesa-gesa untuk mengerti."
Ia mengelus lembut puncak kepalaku.
"Nah, ayo kembali. Banyak yang menunggu mu dengan cemas. Jangan buat mereka cemas, Cah Ayu."
Setelah itu, seperti ada sebuah kilatan cahaya, dan tiba-tiba mata ku terbuka lebar diikuti nafas yang memburu.
Aku menyesuaikan penglihatan ku. Terlihat dinding bata khas rumah Jawa tradisional. Di sekeliling ku melingkar Hayam, Wira dan Yunda.
"Derana sudah sadar! Panggil tabib!" Teriak Hayam kepada dayang yang menjaga.
"Derana... Syukurlah. Aku sangat khawatir!" Ucap Yunda disertai tangis.
Wira tersenyum kecil. "Sialan lo bikin gue ketar ketir tau gak."
"Kamu harus bangun Cah Ayu, banyak orang menunggu mu."
Benar. Mereka menunggu ku.
Aku tersenyum sambil menangis.
"Aku... kembali."
------
Lagi gabut, jadi lanjut bikin chapter. Cuman, tiba-tiba wb jadi cuma segini ajah yh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...