"Ra...Jendra?" Tanya ku.
"Iya ini aku," jawabnya. Lantas, sesaat kemudian aku menunduk, hendak memberi salam.
"Salam untuk Yang Mulia Sri Rajasanagara," ucapku. Namun sedetik kemudian aku mengangkat kepalaku kembali.
"Aku sekarang harus memanggil mu apa? Rajendra? Yang Mulia? Atau..."
Rajendra tertawa kecil. "Ya ampun, sepertinya aku terlalu khawatir dengan reaksi mu. Tapi syukurlah, kamu memegang janji mu."
Aku tak terlalu mengerti apa yang ia bicarakan. Namun ya sudahlah.
"Maaf, saat itu aku memperkenalkan diri dengan nama Rajendra. Yah, kau tahu sendiri, aku itu ke pasar sedang menyamar. Tapi yang terpenting, panggil saja aku dengan namaku. Panggil saja aku Hayam," jelas Hayam. Aku mengangguk. Awalnya kami saling diam, terasa agak canggung. Namun, aku bertanya pada Hayam untuk mencairkan suasana.
"Kalau tidak salah, kau pergi ke Tumapel ya?" Tanyaku. Hayam mengangguk.
"Aku harus mengurus masalah bandit yang meresahkan warga disana. Aku masih bisa menyerah kan masalah ini ke pemerintah setempat jika bandit itu hanya mengambil harta warga. Namun, para bandit itu tidak hanya mengambil harta warga, mereka juga membakar rumah warga serta menculik anak perempuan yang masih muda," jelas Hayam panjang lebar. Ketika aku mendengar kata 'menculik anak perempuan' aku langsung merinding.
Pikiran ku menuju satu tujuan. Yaitu, perdagangan manusia.
"Setelah diselidiki, para anak perempuan yang diculik mereka adalah korban perdagangan manusia," tambah Hayam.
"Siapapun yang melakukan nya, sungguh manusia biadab," kata ku. Hayam tertawa kecil. "Aku setuju dengan mu, Derana."
"Maka dari itu, ini menjadi salah satu masalah penting, dan aku harus segera menyelesaikan nya. Hanya saja..." Hayam menjeda perkataan nya.
"Hanya saja?"
"Ah sudah lah. Tidak usah dipikirkan. Dari pada kau disini, dan melihat dua orang kekasih yang tengah saling merindu apa kau mau ikut dengan ku?" Tanya Hayam.
"Kemana?" Tanya ku lagi. Walaupun aku diajak pergi oleh Hayam yang notabenenya Raja, tentu aku harus pamit pada Yunda.
"Ke ruangan ku. Aku ingin mengobrol banyak dengan mu," ucap nya.
"Aku izin dengan Yunda dulu," kata ku. Namun, Hayam menahan ku. "Tidak usah. Biar nanti ku suruh seseorang memberitahu Yunda Sudewi."
"Tapi—"
"Tidak ada penolakan. Aku tidak suka ditolak."
Aku ingat, Hayam pernah mengatakan ini ketika aku ingin menolaknya untuk mengantar ku pulang. Seperti nya ia pria yang tidak suka penolakan. Aku menghela nafas ku, baiklah jika aku tidak diizinkan untuk meminta izin dengan Yunda secara baik-baik maka akan ku lakukan secara paksa.
"YUNDA AKU PERGI DENGAN HAYAM!" teriak ku kencang. Yunda langsung melihat ke arah ku dan mengangguk.
Di jalan Hayam tertawa terpingkal-pingkal. Ia tak pernah mengira aku akan melakukan hal seperti itu.
"Kenapa kau berteriak seperti itu? Itu lucu," kata Hayam.
"Habisnya, kau tidak membolehkan ku izin dengan Yunda, ya kulakukan dengan paksa seperti tadi," jelas ku. Kemudian Hayam hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Berusaha memaklumi ke absurd an ku.
Keraton sedang sepi, sebab para dayang sedang mempersiapkan acara jamuan di pendopo utama. Ketika aku melewati lorong demi lorong, semua terasa sepi.
"Memangnya kau ingin mengobrol apa?" Tanya ku. Hayam menoleh, kemudian mendekatkan wajah nya padaku. "Tentang mu, karena aku ingin tahu banyak tentang mu."
"E-eh?"
Hayam kemudian tersenyum tipis, dan ia kembali berjalan. Tentu aku mengikutinya dari belakang. Tak lama kami sampai di ruang milik Hayam. Ku kira, ruangan tersebut adalah ruang untuk Hayam bersantai, namun ternyata lebih mirip seperti ruang kerja pribadi.
"Duduk saja dimana pun kau mau," kata Hayam. Aku mengangguk lantas aku duduk disebuah bangku dengan bahan kayu jati.
"Jadi, bagaimana rasanya tinggal di keraton? Menyenangkan?" Tanya Hayam seraya membuka perkamen demi perkamen. Seperti nya, ia ingin mengobrol dengan ku sambil mengerjakan tugasnya.
"Biasa saja. Rutinitas ku masih sama, maka dari itu aku jadi cepat bosan," jawab ku jujur.
"Ku lihat-lihat juga, kau jadi terlihat makin dekat dengan Wira. Kau punya hubungan apa dengan Wira?" Tanya Hayam lagi. Nah, aku bingung sekarang. Harus kah ku bilang kami ini teman senasib karena terlempar ke masa Majapahit?
"Ah, kami punya banyak pemikiran yang sama, maka dari itu kami jadi lebih dekat," bohong ku.
"Apa aku boleh bertanya meski ini sudah agak telat?" Tanya ku. Hayam menaikkan alisnya seolah berkata apa?
"Wira itu pekerjaan nya apa sih?"
"Dia itu, salah satu anggota Bhayangkara yang merangkap menjadi pengawal ku."
Oalah, jadi itu pekerjaan Wira.
"Boleh ku bertanya?"
Aku menaikkan alisku. "Apa itu?"
"Kenapa kau memakai selendang mu dengan melilitkan nya ke perut mu? Bukan biasanya selendang itu untuk menutupi bahu?" Tanya Hayam. Ya, aku memang melilitkan selendang di daerah pinggang dan perut ku. Aku selama ini selalu membawa handphone ku, ya aku menaruh nya dengan cara seperti itu. Tidak mungkin kan aku bawa secara terang-terangan? Tapi, kadang-kadang aku juga meninggalkan handphone ku di kamar ku. Hanya ketika aku mau saja aku membawanya. Entah mengapa melilitkan selendang juga sudah jadi kebiasaan ku.
"Ah itu hanya kebiasaan ku saja kok," jawab ku. Sebenarnya aku kepo dengan perkamen yang sedang dibaca oleh Hayam. Karena, beberapa kali ku perhatikan dahi Hayam mengkerut.
"Ada masalah apa sampai dahi mu berkerut?" Tanya ku. Hayam menggeleng.
"Ini, ada perkamen mengenai masalah di hutan."
"Hutan? Memang nya kenapa dengan hutan?" Tanya ku.
"Ada beberapa warga mengeluhkan tanaman muda tidak tumbuh di hutan. Dan itu membuat beberapa warga rugi," kata Hayam.
"Memangnya, tidak dilakukan penjarangan hutan?" Tanyaku. Hayam menaikkan satu alisnya. "Penjarangan hutan?"
"Iya, yaitu ketika kita menebang beberapa pohon tua, untuk lahan sebagai tanaman muda tumbuh dan untuk mempertahankan kondisi hutan. Karena, pohon dewasa yang dibiarkan daun-daunnya dapat menghalangi sinar matahari, sehingga pohon muda sulit untuk tumbuh.
"Lalu, ketika pohon menjadi terlalu besar, mereka akan menganggu pertumbuhan pohon lain, pohon tua juga dapat menghalau sinar matahari, maka semak-semak jadi layu dan tanah kehilangan kemampuan menahan air, dan dapat berakibat serius," jelas ku.
"Berakibat serius?"
"Iya, contoh nya seperti tanah longsor," tambah ku. Hayam kemudian menghampiri ku, dan tersenyum tipis.
"Kamu membuatku kagum, Derana."
Semburat merah tiba-tiba saja muncul dari wajahku. Ya bagaimana sih, rasanya dipuji oleh seorang Raja besar Majapahit?
Senang gak? Ya senang lah.
"Terimakasih," jawab ku.
"Kamu terlalu pintar untuk kalangan sudra, tapi itu yang menjadi keunikan mu," kata Hayam lagi. Hayam, kemudian kembali duduk ke bangku nya, dan membuka perkamen demi perkamen. Terkadang, aku memberikan nya saran dari ku. Sejujurnya, aku suka menghabiskan waktu seperti ini bersama Hayam.
***
Jangan lupa votment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...