Riuh suara warga memenuhi lapangan desa. Aku disini menatap jengah kerumunan orang yang sangat ramai. Suasana yang amat familiar, namun ini di zaman yang berbeda. Di lapangan ini masih diadakan festival panen raya. Ya, meskipun hari ini adalah hari terakhir diadakan nya festival ini. Justru, dihari terakhir ini akan lebih meriah.
Aku jengah sebab keramaian disini seolah mengingatkan ku dengan stasiun Manggarai yang ada di Jakarta. Bisa kalian bayang kan ramai nya seperti apa.
"Kau tidak suka ku ajak kesini?" Tanya Hayam. Aku menoleh.
"Bukan tidak suka, hanya saja ini...terlalu ramai," kata ku.
Hayam tersenyum. "Justru lebih menyenangkan. Disini aku bebas, ayo Derana!"
Hayam berjalan lebih dulu seraya menggandeng tangan ku. Jika kalian bertanya-tanya apakah aku hanya berdua dengan Hayam, jawabannya adalah iya. Wira dan Yunda memisahkan diri dari kami dan sudah masuk terlebih dahulu. Mereka sepertinya sudah kerjasama dengan Hayam untuk memberikan waktu kebersamaan kami dengan acara pdkt nya.
"Derana, lebih baik kita kemana?" Tanya Hayam.
"Terserah, aku ikut saja," jawab ku.
"Jangan bilang terserah, aku jadi bingung," ucapnya lagi.
Namanya juga cewek, kalo ditanya jawabnya terserah.
"Mau lihat itu?" Tanya ku sambil menunjuk seorang penari. Hayam mengangguk. Kami lantas membelah lautan manusia tersebut dan menonton pertunjukan tari. Hayam mengerjapkan matanya kagum.
"Kau, pecinta seni ya?" Tanya ku.
Hayam menoleh seraya mengangguk. "Aku menyukai seni, terutama seni tari."
Aku manggut-manggut, mendengar perkataan Hayam. Penari itu terlihat cantik dan menawan. Aku dibuat insecure oleh penari itu.
"Penari nya cantik yah," ucapku tanpa sadar.
"Kamu lebih cantik Derana," ucap Hayam diiringi senyum. Manik mata berwarna hitam itu menatap ku lekat. Seolah tatapan terkunci. Terus dipandangi seperti itu, membuat ku jadi salting sendiri.
"Jangan terus-terusan memandangku. Aku... malu," ucap ku pelan, seraya mengalihkan pandangan ku agar mata ku tak bertemu dengan mata Hayam.
Tak dirasa kini, seluruh pengunjung festival tengah menari lepas. Semuanya menari menikmati malam ini.
"Apakah kau mau menari bersama ku?" Hayam bertanya seraya mengulurkan tangannya. Ia mengajak ku untuk ke tengah kerumunan yang asik menari.
"Ta—tapi, Hayam," ucapan ku terjeda.
"Ayo!" Seru Hayam sambil menarik tangan ku. Dan pada akhirnya kami menari dengan lepas di tengah kerumunan. Rintik hujan mulai turun, namun tak melunturkan semangat para warga sekalian untuk berhenti menari.
Ku melirik Hayam, ia tertawa lepas sambil terus menari di bawah rintik hujan. Aku ingin meneduh, namun aku tak berani untuk bilang pada Hayam. Sebab Hayam sedang menikmati waktunya sekarang.
Hayam menyadari raut wajahku, dan langsung berhenti menari.
"Derana, ada apa? Ada sesuatu?" Tanya Hayam mendekat pada ku. Kini, kami berhadapan dengan jarak yang cukup dekat.
"Jangan berhenti menari, tadi kau terlihat sangat menikmati nya," ucap ku lagi.
"Untuk apa aku menari dengan senang, tapi kau disini tak merasa senang," ucap nya lagi.
Nah, kan?
"A—aku hanya ingin bilang untuk meneduh, meski hujan hanya rintik rintik, nanti kau bisa sakit. Tapi, tadi kau sangat menikmati nya. Jadi, aku tak berani bilang," kata ku lagi.
Hayam menghela nafas nya, kemudian ia langsung merangkul pundak ku, kemudian membawa ku keluar dari kerumunan serta keluar dari area festival panen raya. Dan kami pun segera meneduh ke sebuah gubuk tak terpakai tak jauh dari situ, karena hujan semakin lebat.
Hayam telah melepaskan rangkulannya, dan berdiri di samping ku.
Udara dingin semakin menusuk. Aku menggosokkan tangan ku, karena kedinginan. Hayam melirik ku.
"Dingin?" Tanya nya. Aku mengangguk kecil.
Ia kemudian langsung memegang tangan ku, bermaksud untuk mengurangi rasa dingin ku.
"Bagaimana, sudah lebih baik?" Tanya nya.
"Sudah. Terimakasih," ucap ku.
Tak ada percakapan diantara kami. Hanya suara rintik hujan yang menemani sunyi diantara kami.
"Hayam," panggil ku. Ia menoleh kan wajahnya.
"Mau kita terobos saja? Hujan nya awet," kata ku.
"Tidak apa-apa? Tadi kan kamu yang mau meneduh, tida—"
"Terobos saja Hayam. Itu, pake daun pisang itu!" Ucap ku sambil menunjuk daun pisang yang sangat lebar dan besar. Hayam kemudian sedikit menerobos hujan untuk mengambil daun pisang tersebut.
Dan jadilah, daun pisang tersebut menjadi payung kami. Entah mengapa, atmosfer yang seharusnya dingin karena hawa hujan, kini menjadi menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him, Sri Rajasanagara [MAJAPAHIT]
Historical Fiction[follow dulu sebelum membaca] "I love you in every universe, Hayam," bisik seorang gadis di telinga seorang laki-laki muda dengan mahkota emas bertengger di kepalanya. Si laki-laki tertegun. "Apa yang kau maksud? Ayolah, jangan bicara dengan bahasa...