Lonely in solitude

163 47 8
                                    

Hidup Jezia nyaman dalam segi materi, namun sangat monoton.
Dilahirkan dalam keluarga kaya yang terhormat, yang terkenal dimana-mana, masa depannya sudah diatur sedemikian rupa--mulai dari sekolah dasar, SMP, SMA, kuliah, pekerjaan dan mungkin saja jodohnya sudah di tentukan juga.
Dari luar memang terlihat sangat sempurna, banyak yang iri dengan kehidupannya, banyak yang ingin berada di posisinya; namun nyatanya hidup Jezia tak jauh beda dengan burung-burung peliharaan. Hanya di kurung di dalam sangkar yang ketebalannya pun mengalahi ketebalan sangkar raja hutan.

Gadis itu seperti kucing rumahan yang tidak pernah diajak keluar oleh tuannya, iya, dia tidak tahu menahu jati dirinya ada dimana. Dia terlalu lemah, tak memiliki pertahanan diri karena selama ini ia tidak diizinkan untuk menjadi mandiri, selalu ada seseorang yang menopang tubuhnya.

Dia tidak diizinkan untuk menjadi mandiri, namun dia sudah terlalu biasa hidup sendiri.
Hidupnya yang bagi orang-orang terlihat bahagia justru Jezia merasakan dirinya di kekang disini.
Namun dia tahu, sebanyak apapun dia mengeluh ia tetap yakin bahwa semua yang di lakukan kedua orang tuanya ini adalah bentuk perlindungan kepada dirinya.

Mata coklat rusanya yang indah hanya ia gunakan untuk melihat setumpuk soal-soal pelajaran.
Tangan lentiknya hanya ia gunakan untuk menulis buku harian dan buku tugasnya.
Kaki jenjangnya yang ramping dan mungil hanya ia gunakan untuk menapaki rumah megah miliknya, yang sialnya hanya ia anggap sebagai sangkar, bukan rumah berpulang.

Memori-memori kehidupan bahagianya dengan sang papa dan mama tergambar jelas di ingatannya sebelum akhirnya, kepergian kakak perempuannya membuat hidupnya saat ini jauh dari kata bebas.

Ia bukan anak satu-satunya, ia juga bukan seorang kakak, ia hanya seorang adik kecil yang sedang bimbang kemana arah jati dirinya yang sesungguhnya.

Ia terpesong, tak tahu arah kemana ia akan berpijak.
Bukannya tak bersyukur namun rasanya mencekik hati saat ia melihat anak-anak seumurannya yang bisa hidup bebas, namun ia tidak.
Sesaat ia mengingat perkataan bi Inah kala ia benar-benar terperosok dan mentalnya benar-benar terguncang.

"Non Jezia harus tau diluar sana banyak anak-anak yang hidup serba kekurangan, jualan ini itu untuk menghidupi kehidupannya sendiri, di tinggal orang tuanya secara bersamaan, non Jezia harus lebih bersyukur lagi masih banyak orang-orang yang lebih menderita dibawah non Jezia. Non Jezia jangan melulu lihat keatas sesekali lah lihat kebawah bahwa tak semuanya manusia hidup sempurna non, non Jezia harus bangga sudah berada di titik ini"

Gadis mungil itu hanya bisa terisak, memendam tak mampu berucap meskipun hanya sepatah kata.
Hidupnya tidak hancur, namun jelas merasa sepi.

Terkadang sesekali ia mengingat sosok kakaknya yang saat ini entah hilang kemana, yang ia tahu sejak ia berumur 7 tahun kakaknya menghilang dan semuanya tidak tahu dimana keberadaannya sekarang.
Sejak kejadian itulah Jezia penjagaannya di perketat, tak boleh keluar rumah selain untuk pergi ke sekolah, meski awalnya Jezia bahkan hampir di homeschooling.

Terpesong, hilang arah, terperosok, berusaha mencari jati diri.
Beberapa kata itulah yang dapat menggambarkan kehidupan Jezia yang sebenarnya saat ini.

Sangat mudah untuk berdiri di tengah keramaian, tetapi butuh keberanian untuk berdiri sendiri.

Dan Jezia merasa dirinya sudah cukup untuk berada di dalam fase berdiri sendiri.

Terkadang manusia juga perlu menyendiri. Bukan untuk kesepian, tapi untuk menikmati waktu luang untuk jadi diri sendiri.

Dan Jezia saat ini tengah mengalami mood yang naik turun, banyak pemikiran yang berkecamuk di dalam pikirannya. Bahkan hari ini Jezia nekat untuk skip bimbel pak David, alasannya ia sedang tidak enak badan, padahal nyatanya yang tidak enak adalan pikirannya. Pikirannya yang sedang sakit dan butuh relaksasi.

Di Dalam Sangkar [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang