Pesawat kertas

105 29 3
                                    

Ia sendirian.

Ia sudah sendirian.

Seluruh hidupnya telah direnggut paksa.

Oma dan Kak Eca ternyata berbeda pesawat dengan pak Nando.
Mereka berdua saat ini sudah diamankan, ditempatkan ditempat yang layak, karena keduanya memiliki kelemahan masing-masing. Penyakit yang tinggal ditubuh mereka terpaksa membuat mereka tidak bisa memantau eksekusi pencarian pak Nando di laut.

Mereka berdua memiliki kelemahan, masing-masing.
Lantas, orang lain kira dirinya tak memiliki kelemahan?
Orang lain kira Jezia tidak memiliki kelemahan?
Bagaimana bisa memiliki kelemahan saat kelemahannya saja sudah direnggut paksa.
Sudah hilang.
Bahkan mungkin tak akan bisa kembali lagi hanya untuk sekedar mengucap sapa kepadanya.

Gadis itu menaiki helikopter yang sudah disiapkan tim SAR Eropa untuk mencari keberadaan pak Nando dari atas awan.

Laut itu begitu  luas.
Laut itu dingin.
Laut itu penuh dengan kegelapan dan misteri-misteri yang terpendam didalamnya.

Ayahnya ada dibawah sana.
Menunggu secercah cahaya yang menjemput keberadaan raganya.

Dari atas, dirinya bisa melihat perahu-perahu kecil yang tersebar disepanjang laut biru Eropa. Ditemani dengan David yang saat ini memandang dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan. Jezia berdiri, memantau ribuan orang-orang yang membantu proses pencarian ayahnya diambang Laut sana.
Bahkan ribuan karyawan-karyawan sang ayah rela menghabiskan cuti libur mereka demi mencari keberadaan raga ayahnya.
Setidaknya ia ingin menemukan raga ayahnya berada didepan mata.
Banyak juga jutaan orang yang menerbangkan doa untuk sang ayah yang saat ini mungkin tertimbun oleh badan-badan pesawat.

Dibawah sana, terlihat banyak anak manusia yang menyelam, mendobrak badan-badan pesawat yang saat ini telah menjadi kepingan logam, berupaya mencari raga ayahnya yang saat ini tengah bersembunyi dibalik ikan-ikan kecil.

Jezia menghela nafas.
Ia selalu mengeluh sendirian.
Lantas sekarang pun ayahnya juga sendirian. Bertahan sendirian disaat dinginnya air laut menerpa seluruh badannya.

Laut itu gelap.
Laut itu begitu dingin.
Jezia tak berharap banyak saat mengetahui akhir hidup ayahnya jatuh pada laut.
Tempat yang paling ia takuti sejak kecil.

Raga ayahnya terseret ombak laut yang begitu deras. Sederas air mata yang keluar dari pelupuk mata Jezia.

Nyaris seluruh badan pesawat hancur menjadi beberapa kepingan kecil.

Jumlah penumpang yang berkisar 150 orang menyusut hingga meninggalkan 70 orang yang bisa tereksekusi untuk saat ini.

Alam, dunia bisa menjaga keseimbangannya sendiri. Tidak bisa ditebak secara akurat kapan dan dimana cuaca disuatu daerah dapat stabil.

Jezia menatap kosong kepingan badan pesawat yang sudah disisihkan oleh petugas forensik.
Tangisan histeris para keluarga korban memekik-mekik membuat pertahanannya juga ikut hancur.
Disini ia sendiri, bersama dengan seorang lelaki yang menunggu raga ayahnya untuk kembali. Kembali pada pelukan gadis bungsunya.

Jezia menahan isakannya agar tak terdengar. Ia sedang menangis. Suara kepakan baling-baling helikopter membuat tangisannya tersamarkan.
Hampir tidak ada badan pesawat yang utuh. Semuanya hancur lebur.
Badan pesawat yang hancur terlihat menghawatirkan.

Apa kabar papanya? Jezia menyeka wajah yang basah.
Semoga papa baik-baik saja.

"Mas.. papa masih mungkin bisa selamat kan?" Jezia bertanya dengan kalut—seperti takut mendengar respon dari David.

"Papa yang tenggelam di dasar laut. Apa mungkin bisa selamat?"
Hening beberapa saat, menyisakan suara ombak laut menghampar.

"Bisa, pasti bisa je.."

Di Dalam Sangkar [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang