Bab 10

1.8K 271 36
                                    

Udah lupa caranya nulis dan lupa kiasan, dan apalah itu. Bab nya berantakan. Maaf ya 🙏
.
.
.

Bab 10

Suara gemericik air dari kolam ikan yang berada di luar kamarnya, membangunkan Itachi dari tidur lelapnya. Kedua matanya berusaha untuk terbuka, namun terasa berat. Di saat ia berhasil terbuka, serangan cahaya sekitar begitu menusuk indra pengelihatannya. Kedua matanya berkedip. Pemandangan atap kamar membuatnya mengernyitkan dahi. Apa yang terjadi, pikirnya, bingung.

Tubuhnya mulai bergerak untuk merubah posisinya menjadi duduk. Ketika rasa pening itu menyerang, membuat Itachi memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Dia masih dalam keadaan bingung. Bukankah semalam ia berada di paviliun sang adik. Suara pintu yang dibuka menarik kesadarannya. Ternyata hanya dayang pribadinya, yang membantu menyiapkan keperluannya.

Sekelebat ingatan mulai memasuki pikirannya. Ada sebuah bayangan yang menari-nari. Ia dan Sasuke sedang minum-minum. Itachi mengambil kesimpulan, jika semalam ia dan Sasuke hanya minum-minum dan menari, tapi sebagiannya lagi Itachi tidak ingat sama sekali. Dan hanya menganggapnya angin lalu. Merasa sudah tidak ada yang perlu untuk dipikirkan lagi, Itachi beranjak untuk mempersiapkan diri dibantu beberapa dayang pribadinya.

Setelah segala urusannya selesai, Itachi mendapat kabar jika bawahannya akan datang untuk melapor. Dayang yang membantu dirinya bersiap tadi langsung undur diri, memberi ruang pribadi untuk tuannya. Dengan langkah yang tertata, Itachi berjalan menuju ke tempat meja belajarnya. "Kabar apa yang kau bawa?" Tanyanya, tanpa perlu menoleh ke arah lawan bicaranya. Itachi mengambil posisi duduk di kursi dan berkutat dengan perkamen yang ada di atas meja. Tangan kanannya sibuk menulis sesuatu di atas perkamen tersebut.

Dengan patuh, bawahannya mulai menjawab. "Hamba menemukan seekor elang hitam yang terbang ke arah paviliun para putri tinggal, tepatnya para kandidat sayembara." Sontak hal ini membuat tangan Itachi berhenti bergerak dari kegiatan menulisnya. Ada gerangan apa hingga ada seekor elang yang terbang menuju ke salah satu kediaman para putri yang mereka tinggali.

"Seperti apa ciri-ciri burung itu?"

"Yang hamba tahu, elang itu berwarna hitam dan berukuran besar, Pangeran. Tapi hamba tidak tahu siapa pemilik burung tersebut." Tuturnya, mengakhiri laporan. Bawahan itupun pergi setelah Itachi mengusirnya dengan gerakan tangan. Pikirannya sedang melayang saat ini. Asumsinya sekarang beralih ke sang adik, apa benar itu burung peliharaan sang adik. Tapi untuk apa Sasuke repot-repot mengunjungi paviliun para putri dengan menggunakan seekor burung? Tanyanya, di dalam hati. Jari telunjuknya sibuk mengetuk-ngetuk meja belajarnya. Itachi benar-benar harus menggunakan otaknya. Dengan gerakan cepat, Itachi bangkit dan pergi dari ruangannya untuk menuju ke paviliun sang adik berada. Mungkin di sana Itachi akan menemukan jawabannya.

.

Sai berusaha menyaru dengan semua orang yang berlalu-lalang di jalan ibu kota, pagi ini. Semalam ia menginap di penginapan murah yang ada pinggiran ibu kota, guna menunggu hari esok pagi untuk menemui Naruto, dan pagi ini rencana itu ia lakukan. Sai harus menyampaikan surat dari Raja Minato, untuknya. Kenapa ia tidak merasa lelah dengan semua pekerjaan ini? Pikirnya, terheran-heran dengan dirinya sendiri. Ia adalah mata-mata dari Danzo, tapi juga sekaligus mata-mata dari Kerajaan Namikaze, serta teman dari Naruto juga. Sebenarnya apa yang sudah ia lakukan?

Di satu sisi sebagai mata-mata dari Danzo, di sisi lain juga sebagai mata-mata dari Minato. Memikirkan hal itu, apa yang akan didapatkannya jika ia memihak Kerajaan Namikaze. Tidak ada. Sebenarnya, Sai hanya ingin dekat dengan Naruto saja, tapi tidak dengan Kerajaan Namikaze. Ia sudah terlanjur nyaman dengan gadis pirang itu. Dalam hati, Sai akan melindungi Naruto dari gangguan Danzo. Jikalau pun bisa, ia akan membinasakan Danzo, sebelum orang itu menemukan Naruto. Janjinya akan ia wujudkan tanpa sepengetahuan gadis itu.

Sedangkan di tempat Naruto. Ia pagi ini sudah disuguhkan dengan ocehan Shion kembali. Gaun apa yang cocok dengannya hari ini, rambut model apa, perhiasan apa yang cocok dengan gaunnya. Sebagai Naruto, yang hanya mengenakan gaun sederhana hanya bisa terheran-heran dengan tingkah sang kakak. Jika itu Naruto sendiri, ia akan lebih suka kuwalahan saat memilih baju zirah desain terbaru dengan berbagai model atau saat dia harus memilih beberapa senjata yang menurutnya bagus semua. Ia akan merasa delima jika strategi perang dan hidup matinya dipertaruhkan gagal atau ia akan mati. Kenapa ia dan Shion sangat bertolak belakang. Serumit itukah menjadi seorang wanita. Tanpa sadar ia melupakan siapa dirinya sendiri.

"Aku akan keluar sebentar," pamitnya, menjauhi Shion yang masih sibuk dengan kegiatannya. Naruto menitipkan sang kakak pada para dayangnya. Lagi pula tidak akan ada musuh yang menyerang Shion di pagi-pagi yang cerah seperti ini, 'kan? Pikirnya, lelah memikirkan tingkah Shion, lagi.

Naruto berjalan menuju jembatan kolam buatan, yang tadi malam sempat ia pijaki. Ia baru menyadarinya, ternyata kolam ini adalah kolam ikan koi dengan ukuran ikan yang begitu beragam. Kedua matanya menyipit, saat tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah derap kaki yang mendekat. Itu bukan penjaga ataupun dayang, batinnya, mulai merasa waspada. Tidak ada seorang penjaga ataupun dayang yang sedikit tergesa-gesa saat berjalan menuju paviliun ini. Saat Naruto siap memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang, ia membalikkan badannya ke arah belakang saat itulah adrenalinnya dipacu namun terhenti seketika. "Apa kabar?"

Senyum tanpa dosa itu terlihat jelas di wajahnya. Naruto ingin sekali memanah kepala itu dengan busur kebanggaannya, jika bukan karena tugas, tentu saja. "Ada apa?" Tanyanya, berusaha untuk tidak menghajar wajah Sai, yang baru saja datang entah lewat mana. "Dan jangan membuang waktuku!" Tambahnya, mengingatkan.

Sai hanya tersenyum polos tanpa dosa. "Aku membawa pesan untukmu, dari Yang Mulia." Jelasnya, sembari merogoh saku baju hitamnya dan memberikan gulungan yang berukuran sedang kepada Naruto. Sai masih tersenyum, meski gadis itu tidak mengucapkan kata terima kasih dan hanya merebut benda itu dengan gerakan tangan yang cepat.

Naruto segera membaca gulungan itu dengan cepat. Dahinya ditekuk dalam saat membaca isi pesan tersebut, dan langsung menutupnya dengan cepat. Wajah itu kembali menatap Sai dengan ekspresi penuh tuntutan pertanyaan. "Kenapa mendadak sekali?" Tanyanya, "Dan kenapa baru memberitahuku sekarang!?" tambahnya, beruntun. Sai hanya meringis dengan senyum polos.

"Aku sudah berusaha untuk sampai lebih cepat, tapi kau tahu sendiri jarak antara Kerajaan Namikaze dan Uchiha cukup jauh." Terangnya, mencoba membela diri. Sai tidak perlu berbohong, karena ia sendiri memang melakukan perjalanan tanpa tidur untuk sampai di tempat ini. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Kerajaan Uchiha adalah tiga hari, tapi dengan Sai yang melakukan perjalanan menggunakan kuda tanpa beristirahat hanya memakan waktu satu setengah hari saja. "Bukankah aku sudah mengirim Elang Hitam, semalam?" Tambahnya, mengingatkan.

Sebenarnya, Naruto semalam memang didatangi oleh burung itu, tapi ia hampir lupa. "Memang," tukasnya, menjawab. "Apa ada hal lain lagi?" Naruto tahu jika masalah ini bukanlah hal yang sepele, pasti ada masalah setelah di belakang masalah. Itu pasti, pikirnya, di dalam hati. Ia menunggu jawaban dari temannya ini, yang dimana Sai sudah berekspresi dengan wajah datar. Ia juga tahu, Sai mulai serius dengan pembicaraan ini.

"Aku ingin kau berhati-hati juga Naruto, ada musuh di luar sana yang mulai mengincarmu. Yang Mulia hanya ingin kau dan Shion berhati-hati selama berada di Kerajaan Uchiha." Jelasnya, panjang lebar.

Angin semilir menerpa mereka berdua. Naruto hanya diam begitupun sebaliknya. "Aku mengerti." Naruto pun berbalik, hendak kembali ke paviliun, namun Sai mengehentikannya dengan memanggil namanya.

"Naruto." Panggil Sai, bersamaan angin menerpa mereka berdua, kembali. "Jaga dirimu," tukasnya, penuh perhatian. Bibir tipisnya tersenyum tulus, bukan senyum polos tanpa dosa seperti biasanya.

Naruto yang berhenti di tempat hanya menunggu, hal apa yang akan diucapkan temannya itu. Saat mulut Sai mengatakan kata-kata yang manis dan penuh perhatian, ia hanya sedikit mengangkat alis sebagai respon. Meski ia membelakangi Sai, Naruto tahu jika Sai benar-benar tulus dengan ucapannya. "Tentu." Balasnya, dengan satu tangan terangkat yang menunjukkan jempol ibu jari, dengan kata lain Naruto mengiyakan hal tersebut. Dengan begitu, percakapan itu berakhir di situ saja.

.
.
.
tbc.

Mau tanya nih... chapternya ini beneran di akhir episode atau loncat" ?

Di aku kok berantakan ya 🤦

Jenderal & Putra MahkotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang