Bab 29
Setelah Naruto memimpin Kerajaan Namikaze secara resmi, ia disibukkan dengan pembersihan secara menyeluruh bagi mereka yang terbukti melakukan tindak kejahatan. Melalui organisasi Akatsuki, Naruto memberi perintah pada organisasi tersebut untuk membantunya dalam pembersihan secara terang-terangan yang ia lakukan saat ini.
Naruto yang mengerjakan laporan tentang beberapa kejahatan yang sudah dilakukan para pejabat kerajaan, sedikit teringat tentang saat waktu penobatan dirinya menjadi seorang ratu. Banyak para pejabat maupun menteri yang menolak dengan keras dirinya untuk menjadi ratu saat itu. Dan melalui organisasi Akatsuki yang dipimpin oleh temannya, Naruto meminta tolong pada mereka untuk membasmi mereka yang benar-benar terbukti bersalah selama masa kepemimpinan Raja Namikaze Minato.
Perintah itupun berjalan dengan lancar. Namun, tidak semua hal harus berjalan sesuai dengan keinginannya. Akatsuki yang dipimpin oleh Pain, menginginkan dirinya untuk menjadi kekasih atau pasangan untuk dirinya. Naruto sempat menolak, dan Pain tetap keukeh dengan permintaannya. Naruto melempar gulungan laporan yang ia baca ke atas meja. Sialan, kenapa semuanya menjadi serumit ini! Pikirnya, di dalam hati.
Ia menyenderkan punggungnya ke punggung kursi kerjanya. Tatapannya menatap kosong ke arah meja yang sudah berserakan gulungan laporan yang sudah ia baca. Dalam keheningan yang ia ciptakan, Naruto tidak menyadari jika sosok Pain sudah masuk ke ruangannya tanpa ia sadari. Sepertinya Pain datang ke ruangannya dengan cara menyelinap secara diam-diam.
Naruto berjengit kaget, saat wajah Pain terlihat begitu dekat dengan dirinya. Ia menatap tajam temannya tersebut, yang hanya menampilkan ekspresi datarnya. "Apa yang kau butuhkan hingga datang menyelinap ke mari?" Tanya Naruto, setelah berhasil menetralkan detak jantungnya.
Setelah berhasil mengagetkan Naruto yang melamun, Pain memundurkan wajahnya menjauh dari Naruto. Ia mengambil salah satu kursi yang ada di ruangan tersebut dan mendudukinya. "Hanya berkunjung," singkat, padat dan jelas. Ia bisa melihat wanita yang ia kagumi sejak dulu pertama kali mereka bertemu, terlihat lelah, terbukti dengan adanya kantung mata Naruto yang terlihat gelap. Pain berpikir jika Naruto tidak bisa tidur barang sejenak meninggalkan kewajibannya.
Sedangkan Naruto, ia hanya bergumam pelan sebagai jawaban. Selang waktu keheningan yang mereka ciptakan, Naruto memilih beranjak dan berdiri di dekat jendela untuk melihat taman yang berada di luar paviliunnya. Naruto tersentak kaget, saat sebuah tangan memeluk dirinya dari arah belakang. Tubuhnya sempat menegang, namun Naruto berusaha merilekskan kembali tubuhnya. Kontak fisik seperti ini harusnya tidak masalah untuk dirinya. Anggap saja ini adalah konsekuensinya dalam menjalin kerja sama.
"Tidurlah," tukas Pain, penuh perhatian. Jemarinya menggenggam tangan mungil Naruto dengan penuh kehati-hatian. Ia tahu, Naruto belum siap dengan suatu hubungan yang ia tawarkan jika ingin kerja sama dengan dirinya terlaksana. Pain juga tahu jika Naruto sebenarnya enggan melakukan kontak fisik seperti saat ini.
"Tidak. Pekerjaanku belum selesai sepenuhnya." Balas Naruto, pelan. Jantungnya berdetak semakin cepat saat Pain membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arahnya. Setelah berhasil menetralkan detak jantungnya yang sempat kaget, Naruto menatap dengan bingung sosok Pain yang begitu dekat dengan dirinya.
"Tidurlah, kau butuh istirahat."
"Tapi-" Belum selesai dengan kata-katanya, Naruto sudah tidak sadarkan diri setelah melihat pola riak pupil yang dimiliki Pain. Dengan sigap Pain mengangkat tubuh Naruto dan membawanya ke sebuah ranjang yang memang sudah ada di ruangan kerja ini. Ia melepas rengkuhannya dengan penuh kehati-hatian, lalu menyelimuti tubuh itu dengan selimut hingga sebatas dada.
Pain mendudukkan diri di pinggir ranjang. Ia menatap Naruto dalam diam. Tangannya terjulur untuk mengelus surai pirang panjangnya. Pain maju ke depan dan mengecup kening Naruto penuh sayang. Tubuhnya kembali tegap, namun satu tangannya yang lain masih sibuk mengelus bagian telinga Naruto. Tanpa Naruto sadari, Pain sudah menancapkan besi baja di daun telinga Naruto. Besi baja itu berukuran sangan kecil, sekecil ukuran jarum.
Wajah Naruto terlihat menahan sakit, namun berangsur-angsur membaik setelah beberapa menit. Besi baja yang Pain tanam akan memudahkan dirinya untuk mengawasi Naruto dalam jarak jauh sekalipun. Meski di awal perjanjian Naruto memang tidak menyetujui permintaannya, tetap saja Pain ingin mengawasi sosok yang ada di depannya saat ini hingga ia bosan dengan sendirinya. Ah, ia begitu terlalu mengagumi sosok Naruto ini. Setelah dirasa cukup, Pain pun bergegas pergi dari ruangan tersebut meninggalkan Naruto yang tidur sendirian di ruangannya.
Sebelum Pain benar-benar pergi, ia memberikan perintah pada prajurit yang berjaga di depan pintu untuk menjaga ruangan ini. Mereka yang tidak tahu dari mana sosok itu datang, hanya bisa menatap bingung sekaligus patuh secara bersamaan. Pain pun benar-benar pergi setelahnya.
Sedangkan di ruangan Naruto sendiri, sosok yang lain sudah duduk di pinggiran jendela yang terbuka. Sosok itu pun meloncat turun, dan berjalan mendekat ke arah Naruto yang sedang tertidur pulas tanpa kewaspadaan sedikitpun. "Kisah percintaan yang sangat klise." Seru sosok tersebut dengan enteng. Siapapun tidak ada yang tahu takdir apa yang akan mereka hadapi. Seperti sosok yang menyelinap ke ruangan Naruto saat ini, tanpa ia sadari kata-katanya akan berbalik menyerang dirinya.
Keterdiaman Naruto yang menatap tumpukan dokumen pun teralihkan dengan kedatangan Shion ke ruangan kerjanya. Ia menatap sang kakak yang berjalan menghampirinya dengan gulungan kecil yang berada di genggaman tangannya. "Ada apa?" Tanyanya, sembari melepas kuas tintanya dan meletakkannya ke atas meja.
"Aku membawa undangan untukmu!" Serunya dengan semangat. Ia mendudukkan diri di kursi yang sudah disiapkan khusus untuk dirinya, berada tepat di samping meja kerja sang adik. "Ini." Lanjutnya, sembari meletakkannya tepat di depan Naruto.
Naruto membuka gulungan tersebut, dan membaca isinya. Dahinya berkerut dalam, selang beberapa detik wajahnya memerah, karena marah. Ia membanting gulungan tersebut ke meja. "Sialan!" Makinya, keras. Ia tidak perduli dengan kata-kata bawahannya yang berjaga di depan pintu karena mendengar umpatannya. "Dia bahkan tidak meminta maaf padamu, dan malah mengirim undangan seperti ini!" Serunya dengan suara yang sangat kesal.
Dan hari itupun juga, Naruto menurunkan perintah pada Akatsuki untuk pergi ke Kerajaan Haruno segera. Waktu yang mereka butuhkan untuk sampai di kerajaan tersebut memakan waktu selama tiga hari. Jika Naruto hitung, mereka akan sampai sebelum tanggal undangan itu berlangsung. Seperti biasa, Naruto mengenakan pakaian kebanggaannya, hanya saja untuk hari ini ia memilih warna putih karena jabatannya sudah berganti menjadi ratu. Ngomong-ngomong, Naruto rindu dengan perang.
.
"Kakashi. Apa masih jauh?" Tanya laki-laki itu pada Kakashi. Ia memiliki perawakan badan yang tinggi, bongsor, dengan surai berwarna putih. Kakashi yang sejak tadi di ajak bicara hanya melirik sekilas.
"Belum, tapi besok kita baru sampai." Jawabnya, sekenanya. Kakashi malas jika harus mendapat teman seperjalanan seperti laki-laki yang berada tepat di sampingnya. Jika bukan karena seorang Putra Mahkota, Kakashi akan memilih mendiamkannya selama perjalanan. Tapi tidak untuk hal ini. Ia hanya bisa menghela napas, lelah. Merepotkan, pikirnya, di dalam hati.
tbc .
makin ke sini kok jadi males nulis ya 😔
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenderal & Putra Mahkota
Fanfiction[END] Menceritakan kehidupan Uzumaki Naruto, putri dari Selir Uzumaki Kushina dan Raja Namikaze Minato. Selain status sebagai putri dari kerajaan Namikaze, Naruto juga adalah seorang Jenderal Perang. Keselamatan Putri Shion, putri dari Permaisuri Na...