D

6 0 0
                                    

Keesokan harinya, Ghina mengambil jarak untuk datang ke kantor, tidak seperti hari kemarin bak anak SD yang mau berangkat sekolah, pukul tujuh teng sudah sampai depan gerbang sekolah, kini ia datang lebih melar satu jam dalam berangkat kerja, toh katanya belum aktif ini, pasti belum ada orang yang datang sepagi ini ke kantor, fikirnya.

"Assalamualaikum," sapa Ghina mengetuk pintu.

Namun sepertinya memang benar-benar belum ada siapapun disana, pintunya juga sedikit terbuka, lengkap dengan gorden yang memberi celah untuk sinar matahari masuk.

"Kemana pak Rifqi?" tanya Ghina dalam hati sambil mengedarkan pandangan.

"tumben, kosong amat ini rumah, sayang ... mana besar, gak ada yang menempati lagi." cicit Ghina menyimpan ranselnya kemudian langsung mengambil sapu.

Perlahan ia mulai menyapukan lantai yang kotor itu, membersihkan dus kotak box bekas makanan, memungut sampah-sampah rokok, membenarkan kabel yang terlilit serta membersihkan laptop dan komputer yang penuh dengan debu, usai itu ia mengepel di setiap halaman rumah.

Ghina dengan telaten membersihkan kantor panwas tersebut. Kemudian Algi pun datang dengan membawa sekantong plastik kopi lalu menyimpannya di atas meja.

"ini aku belikan kopi, cukuplah buat hari ini sampai besok," tukasnya sambil menyeret bangku untuk duduk.

Dilihatnya kantong plastik itu oleh Ghina dan terdapat 3 runtuy kopi dengan merk berbeda, ada yang bertuliskan Kapal api, Good day, dan Luwak white coffe di sana.

"Oh, lumayan sih cukup banyak," ucap Ghina sambil menggunting runtuyan kopi.

"Iya, soalnya bakal banyak tamu yang datang ke kantor panwas ini Ghin, nanti kamu seduhkan kopi buat mereka ya!"

"Ngomong-ngomong beli kopi ini uang siapa Al? Kamu ya? Hebat juga nih yang banyak uang."

"Ya enggaklah Ghin, ini itu ada jatahnya kok, pak Farhan yang ngasih uang ke aku buat beli kopi ini."

"Oh, kirain dari kamu Al, xixi" cicit Gina menutup obrolan.

Usai kantor bersih dan rapi, Ghina bersantai ria di depan teras kantor sambil membuka ranselnya mencari diary kecil yang ia beli pekan lalu, di waktu luangnya ia juga mengisi jurnal harian yang kerap disebut Bujo atau bullet digital journey yang ia buat sendiri dari bahan seadanya yaitu kertas hvs, kertas cartoon, pensil warna, spidol, dan Glitter untuk mempercantik covernya, Ghina orangnya pelupa dan senang dengan hal coret menyoret di kertas, maka baginya bujo merupakan jalan alternatif untuk seorang Ghina yang memiliki kriteria tersebut.

Dalam isi buku bujo terdapat list kegiatan harian, list impian, sampai target meminum dalam sehari berapa gelas, tak hanya itu ada kolom yang memuat jadwal rutin sholat 5 waktu, challenge Al-waqiah 30 hari, sampai kolom investasi menabung, lengkap sudah catatan perjalanan keseharian Ghina  dalam bujo tersebut.

"Ghin, nanti seduhkan kopi hitam ya buat saya! Kalo sudah jadi simpan dulu aja di atas meja, saya mau ke musala sebentar," ucap pak Farhan membuyarkan konsentrasi Ghina yang sedang mengisi bujo.

"Oh, baik pak," jawab Ghina bergegas menuju dapur.

Setelah menyeduhkan kopi, terdengar suara motor yang berhenti tepat di depan kantor Panwas.

"Apakabar Bu Ghina?" sapa pak Estu memasukan kunci motor ke saku.

"Alhamdulillah, baik pak. Oh iya bapak mau sekalian dibuatkan kopi?" tanya Ghina basa-basi.

"Nanti saja buk, saya baru saja minum teh di rumah," jawabnya seraya duduk.

Ghina ber oh ria sambil memasukkan bujo tadi ke dalam ransel miliknya.

"Itu apa bu?" tanya pak Estu penasaran.

"Eh, enggak ... ini pak cuma buku diary." balas Ghina setengah bingung.

"Oh, kirain buku absen kita di Panwas," ucap pak Estu lalu mulai membuka telepon genggamnya kembali.

ALIANSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang