12. Kucing-kucingan

134 40 0
                                    

Ini sudah ketiga kalinya sejak lima belas menit yang lalu Raina mondar-mandir di depan pintu gerbang kosannya sambil sesekali mengintip dari celah pagar yang tidak ditutupi oleh plastik fiber. Ketika mengintip, hanya terlihat ujung kepala yang terbalut kerudung cokelat muda dan kedua matanya.

Hal itu ia lakukan bukan tanpa alasan. Setelah beberapa malam ia tidak bisa memejamkan mata karena memikirkan hal memalukan yang ia lakukan kepada Rein, pagi ini pun ia masih harus bertingkah seperti seorang penguntit.

Sejak tadi ia memperhatikan pintu gerbang kosan di seberang sana. Menanti makhluk adam bernama Reinaldi Mirza menampakkan batang hidungnya. Namun, yang ditunggu tidak kunjung tampak. Sama seperti halnya matahari yang masih malu-malu menyembul ujungnya saja di balik awan.

Sudah hampir pukul delapan pagi. Ia ada kuliah di waktu itu. Perjalanan ke kampus membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit. Jika ia tidak segera beranjak dari sana, maka sudah bisa dipastikan ia akan terlambat mengikuti jam mata kuliah pertamanya di hari itu. Namun, bagaimana jika begitu melangkahkan kakinya ke luar gerbang Raina justru berpapasan dengan Rein?

Saat ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri, sebuah suara terdengar dari arah belakang.

"Kamu, lagi ngapain?"

Seketika tubuh Raina terlonjak. Pikirannya sedang tidak siap, begitu juga dengan tubuhnya. Sehingga reaksi yang ia berikan berlebihan seperti itu, padahal hanya sebuah pertanyaan biasa.

"Ya Alloh, bikin kaget aja," keluh Raina seraya memegangi dadanya yang langsung bergemuruh. Kerja jantungnya jadi dua kali lipat lebih cepat.

"Eh, maaf, ya, kalau aku bikin kaget. Abisnya gerak-gerik kamu mencurigakan banget," ujar gadis itu lagi. Ia memakai kerudung seperti Raina dan membawa tas selempang dengan hiasan rajutan boneka di bagian depannya. Tampak serasi dengan bros yang tersemat di bagian depan kerudungnya. Anggun sekali.

Namun, sepertinya Raina pernah bertemu wajah itu sebelum ini. Tidak asing baginya.

"Apa kita pernah ketemu sebelum ini?" tanya Raina penasaran.

Gadis di hadapannya pun tampak berpikir. Namun, senyuman tipis disertai gelengan kepala yang ditampakkannya kemudian memberi jawaban kepada Raina kalau gadis itu tidak tahu atau tidak begitu ingat.

"Kayaknya aku tahu, deh," ujar Raina yang sudah berhasil mengingat.

"Apa?" tanya gadis itu pun penasaran.

"Kamu yang di ruang eksekusi waktu itu, kan? Waktu ospek fakultas. Yang ketahuan bawa ponsel," tebak Raina tepat sasaran karena setelahnya gadis itu pun tersenyum.

"Jadi, kita pernah dihukum bareng, ya?"

"Iya," jawab Raina sembari cengengesan.

"Aku belum tau nama kamu. Aku Faranisa Indira. Panggil aja Fara. Jurusan sastra Jepang." Gadis itu berkata lagi.

"Aku Raina Azura. Bisa dipanggil Rain, Raina, atau Zura juga boleh. Asal jangan panggil Inah aja, soalnya nanti kelabasan disuruh ini, itu. Kayak misal, 'Nah, beliin jus dong. Nah, ambilin tas dong. Nah, cuciin baju di rumah dong. Nah, sapuin rumah, dong'. Ya, semacam itulah."

Fara terkekeh geli mendengar celotehan Raina. Gadis itu mengerti apa yang Raina maksud. Kedua gadis itu pun tersenyum dan baru menyadari jika seharusnya mereka sudah beranjak ke kampus.

"Aku ada kuliah jam 8. Mau berangkat bareng ke kampusnya?" ujar Fara setelah melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya.

"Bo-boleh," jawab Raina ragu. Ia harus segera beranjak ke kampus, tetapi keberadaan gerbang kosan Rein di hadapan gerbang kosannya itu sungguh mengganggu.

Maka ketika mereka jalan beriringan, Raina memilih sisi yang berjauhan dari gerbang kosan Rein. Jadi, ketika nanti ada kejadian tak terduga seperti tiba-tiba Rein muncul, Raina bisa segera bersembunyi di sebelah tubuh Fara.

"Omong-omong, tadi kenapa kamu diem lama di pintu gerbang?" tanya Fara membuka obrolan lagi.

"Oh, itu ... itu ... lagi nyari tukang bubur ayam yang suka lewat sini tiap pagi," jawab Raina asal sembari matanya terus mengamati pintu gerbang kosan Rein. Bersamaan dengan itu, pintunya terbuka. Seketika wajah Raina memucat dan refleks meletakkan tas ranselnya di samping wajah.

Fara yang keheranan melihat tingkah teman satu kosnya itu hanya bisa menatap keheranan.

"Kamu kenapa?"

"Oh, enggak. Lagi mau ngecek ada yang ketinggalan atau enggak. Mumpung masih deket," jawab Raina seraya pura-pura memeriksa isi tasnya. Ekor matanya masih melirik ke arah gerbang kosan Rein dan menemukan bahwa yang baru saja keluar dari sana bukan sosok yang dihindarinya. Seketika ia mengembuskan napas lega.

"Udah lengkap semua?" tanya Fara ketika melihat kelegaan itu di wajah Raina.

"Iya," jawab Raina lagi seraya tersenyum.

"Kamu bilang tadi kamu cari tukang bubur, memangnya ada yang sering lewat sini, ya?" Fara melanjutkan obrolan mereka.

"Iya. Memangnya kamu enggak denger kalau setiap pagi suka ada suara 'ting, ting, ting' mangkok dipukul? Itu suara mamang tukang bubur."

"Aku baru kemarin dateng ke kosan. Jadi enggak tahu."

"Eh, iya. Aku, kok, enggak pernah lihat kamu di kosan?" tanya Raina keheranan. Baru kali itu memang ia melihat Fara.

"Selama ini aku langsung pulang ke rumah setiap abis dari kampus karena kesehatan ayah yang lagi enggak baik. Alhamdulillah sekarang sudah keluar dari rumah sakit dan aku bisa mulai tinggal di kosan."

Raina jadi teringat dengan alasan kenapa Fara tetap membawa ponselnya padahal ia tahu benda itu tidak ada dalam daftar benda yang harus dibawa oleh mahasiswa baru. Benda yang membuat gadis itu harus masuk ruang eksekusi tim disiplin. Raina turut merasa lega karena mendengar kabar ayahnya Fara sudah membaik.

"Kamu sendiri jurusan apa? Tadi kamu baru kasih tahu nama aja." Fara berkata lagi.

"Aku jurusan Ilmu Sejarah," jawab Raina yang sudah terlihat lebih rileks karena perlahan sudah jauh meninggalkan gedung kosan.

"Aku dari awal bertanya-tanya, kenapa Ilmu Sejarah masuknya ke Fakultas Ilmu Budaya, ya? Kenapa enggak masuk Fisip atau FKIP?"

Raina pun terdiam sejenak. Bukan Raina tidak tahu jawabannya atau ia belum pernah mendengar sama sekali. Dalam salah satu rangkaian acara ospek jurusan pernah ada pembahasan soal itu dari ketua jurusan Ilmu Sejarah yang menyampaikan materi tentang kesejarahan. Namun, jika ia harus menjelaskan ke orang lain lagi, belum tentu Fara akan mengerti maksud yang disampaikannya. Maka Raina pun berusaha mencari jawaban yang bisa lebih mudah dimengerti oleh orang di luar Ilmu Sejarah.

"Mungkin karena Ilmu Sejarah identik dengan ilmu kepenulisan tentang masa lalu, erat kaitannya dengan budaya masyarakat dan hasil dari budaya itu sendiri pada masanya, makanya Ilmu Sejarah masuk ke Fakultas Ilmu Budaya."

Fara tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang aku paham. Soalnya aku sendiri di jurusan Sastra Jepang, enggak cuma belajar soal bahasanya, tapi juga belajar tentang karya sastra, sejarah, juga budaya bangsanya. Ternyata ilmu humaniora itu kaya, ya. Unik dan menarik. Aku enggak nyesel jadi bagian dari Fakultas Ilmu Budaya." Fara mengakhiri kalimat panjangnya.

"Ospek fakultas kemarin sudah berhasil merekrut satu lagi penggemar ilmu humaniora sejati. Welcome to the club, kalau begitu." Raina terkekeh. Fara pun ikut tertawa setelahnya.

Obrolan mereka pun terus mengalir hingga keduanya tiba di area gedung Fakultas Ilmu Budaya. Menciptakan kesan keakraban dan menyisakan kesan tersendiri di hati keduanya.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang